Jaringan intel Organisasi Rahasia yang tersebar di mana-mana memberi info yang menggembirakan bagi Umum. Inilah yang setengah tahun sudah ditunggunya : satu dari tiga target buronannya akan nongol di jalanan tempat biasa Umum mangkal.
Saking antusiasnya, sedari empat subuh Umum dengan kantuk tersisa mengayuh pelan becaknya menuju pinggir jalan depan gedung balai Arkeologi.
"Jelas bukan itu," ucap Umum setibanya di lokasi, mendapati sebuah mobil pengangkut sayur segar yang didatangkan langsung dari kota Nempur, lumbung pertanian negara ini.
"Itu, apalagi!" sekian menit berlalu Umum melihat pengendara motor Astrea, seorang lelaki tua dengan peci yang kedodoran menutupi kepalanya, mengenakan batik serta sarung yang melilit di lingkar pinggang.
"Yakali mereka!" Umum sangat skeptis ketika di seberang sana seorang lelaki tua full ubanan tengah mendorong pelan gerobak sampah besi yang pada kedua dindingnya mencantumkan slogan 'Healthy is beauty'. Dari dalam grobak, mendadak jembual, muncul perempuan tua yang sama banyak ubannya, setelah ia menyibak gorden berbahan karung bekas pupuk urea. Perempuan tua itu melambai lalu melempar kiss bye pada Umum.
"Oi, Tuan Tukiman dan Nyonya Nasitem." Teriak Umum menyapa mereka, sepasang suami istri pengelana yang berjasa mengurangi sampah plastik tak terurai di jalanan ibukota.
Umum tahu, target yang diincarnya belum akan muncul pagi ini. Buronan itu, akan melintasi jalanan depan kantor balai arkelologi, tengah hari jam 12 teng. Lalu ngapain sepagi itu Umum sudah duduk sambil menyesap kretek di singgasana becaknya?
"Ada teduh di rasa melihat ragam kehidupan pagi buta" Umum bergumam sendiri serupa penyair.
***
"Kamu harus menangkap belut bajingan itu, Mum." Begitulah yang diucapkan Bu Widi, setengah tahun lalu. Bu Widi, perempuan itu adalah bos organisasi rahasia.
Sebisa yang diingatnya, Umum hanya dua kali bertemu Bu Widi ketika masih sebatas anggota biasa.
Pertama, di pesta internal perayaan kemenangan Organisasi Rahasia setelah baku tembak dengan Geng Not A. Pertemuan kedua, baru terjadi bertahun setelahnya, ketika Umum yang menorehkan banyak prestasi dilantik menjadi satu dari tiga petinggi pretensius organisasi.
Sebetulnya Umum kagok berada di posisi jabatan yang sekarang. Culture shock. Umum yang biasa menjalani pertempuran sengit di medan perang, kini hanya duduk santai sembari menghisap cerutu di ruang kerja yang khusus untuknya seorang. Umum yang begitu lihai menggunakan ragam jenis senjata, kini harus berhadapan dengan setumpuk dokumen yang membuatnya muntah duluan sebelum sempat dibacanya.
Dan baru juga tiga hari kerja kantoran, Umum sudah dipanggil menghadap Bu Widi.
"Ada apa? Apa aku melakukan kesalahan?" Umum berjalan menggenggam cemas menuju ruang pribadi milik seorang perempuan paling anggun dan agung di organisasi rahasia.
***
Begitu grendel pintu membunyikan klek, sebisa mungkin Umum perlihatkan ketenangan.
Ini kali pertama Umum masuk ke sini. Sebuah ruangan yang ternyata beda jauh dari ekspektasinya. Semula ia kira ruang ini bersih dan rapi, tapi nyatanya malah sangat busuk, bahkan lebih semrawut ketimbang pembuangan akhir.
Nyaris memenuhi seluruh ubin lantai, tergeletak plastik kemasan chiki dengan beragam merek, dari rasa kentang sampai rumput laut, lengkap. Di meja kerja, terdapat empat asbak yang kesemuanya penuh dengan putung dan abu rokok filter putihan yang bertumpuk-tumpuk serta berjejer enam botol minuman beralkohol yang sudah suwung.
Dari semua, yang paling menarik perhatian Umum adalah kancut dan kutang yang digantung menutupi wajah presiden -Yang Mulia Jumbreng- dalam bingkai foto 10R yang terpaku di atas dinding, persis di belakang meja kerja Bu Widi.
Belum rampung mengagumi desain arsitektur kekacauan ruangan itu, perhatian Umum cepat teralihkan demi memandang perempuan yang duduk bersandar begitu bersahaja di kursinya.
Bu Widi, di mata Umum, perempuan itu jelas sangat memesona. Seandainya ia tidak mengetahui fakta beliau nyaris kepala empat, tidak menutup kemungkinan jika ketemu di jalan, Umum bakal menduga Bu Widi gadis dua puluhan.
Dengan Blazer hitam yang membungkus daleman berwarna putih, tidak hanya cantik, perempuan itu terlihat berwibawa, menggoda sekaligus berbahaya.
"Oh, duduk, Mum." Ucap Ibu Bos melihat Umum terpaku di mulut pintu.
"Bajingan, cuma pake celana dalam!" Umum menelan ludah begitu Bu Widi bangkit dari duduk, menyambut kedatangannya.
"Ups, sorry." Bu Widi baru menyadari kursi yang akan diduduki Umum, juga dipenuhi sampah. Segera Bu Widi menyapu kursi itu dengan telapak tangan.
"Itu dulu, bu, baru kursi." protes Umum dalam batin.
Umum, seperti kebanyakan anggota lain, tidak banyak tahu soal seluk beluk Bu Widi. Dan tak peduli seberapa kacau dan janggal tingkah laku yang dipertontonkan beliau di ruang ini, Umum tidak boleh terbuai dengan kesan feminimnya yang sudah pasti bikin iman kalang kabut.
"Jika Bu Widi turun gunung ikut nyerbu markas musuh, percaya atau tidak, beliau baru buka pintu mobilnya, markas musuh langsung meledak."
"Kedipan matanya bisa membunuh buronan yang ngumpet di suatu tempat yang jaraknya 100 km."
"Pernah kulihat beliau nyabut sehelai rambutnya terus tiba-tiba jadi pedang."
"Bu Widi? Jangan macem-macem. Pentilnya beracun."
Begitulah urban legend yang beredar di kalangan organisasi rahasia yang sempat ia dengar tentang betapa saktinya perempuan itu. Memang, sudah semestinya orang yang seperti itu yang layak bertengger di puncak hierarki organisasi. Umum respect selangit pada beliau.
***
"Kamu merem bentar, Mum." perintah Bu Widi, membuyarkan lamunan. Baru sedetik, Bu Widi mengganti instruksi, "Nah, kamu sudah boleh melek."
Umum terperanjat saat matanya terbuka dan mendapati seluruh ruangan kini menjadi bersih, rapi dan wangi. Dan Umum jauh lebih kaget ketika tiba-tiba melihat wajah cantik Bu Widi mimikri berganti menjadi laki-laki.
"Ini belut bajingan yang kumaksud." Ucapnya. Oh, rupanya tadi wajah Bu Widi cuma ketutupan foto lelaki berkumis melengkung itu, toh.
"Tugas saya meringkus suami ibu?" Umum bertanya hati-hati. Bu Widi mengangguk, lalu berjalan menuju jendela yang terbuka. Berdiri di sana sebentar, mengelap entah muka atau air mata dengan selembar tissue yang diambilnya dari dalam saku blazer.
"Itu tugas dari aku sebagai personal." ucapnya, agak sendu. "Bukan tugas sih. Lebih tepatnya aku minta tolong. Kamu tahu apa maksudku." lanjutnya.
"Tetapi sebagai bos organisasi, ini misi untuk mu." Bu Widi menyodorkan foto dua lelaki buronan beserta satu siluet hitam putih seorang perempuan.
"Kartel, Jihadis, Feminazi." ucapnya, bergantian menunjuk ketiga gambar itu berurutan.
-BERSAMBUNG | NEXT CHAPTER : JUMAT, 19 MEI 2023
< PREV - DAFTAR CHAPTER - NEXT >
jika berkenan silakan tulis tanggapan kalian di kolom komentar. terima kasih :)
0 Komentar