Mister Wagyo - Prototype Cerita [02]


Mister Wagyo, begitulah sesekali Umum memanggil lelaki tua itu. 

Pak Wagyo mulai membecak pas seumuran kayak Umum. "Bukan karena terpaksa, tapi lebih ke romantisme, Mum." terang Pak Wagyo, mengembara ingatan ke tahun-tahun terlewatkan. 

Terhitung dua puluh lima tahun sudah beliau malang melintang di skena perbecakan. Dengan jam terbang yang selama itu, tak heran Pak Wagyo hafal di luar kepala setiap sudut jalanan ibukota. 

Pak Wagyo dan becaknya always ready di depan balai Arkeologi, kapanpun tiap dibutuhkan penumpang. Sekalipun, ya, jasa antarnya kini mungkin cuma menjadi alternatif sampingan bagi penumpang yang kepepet karena opsi angkutan lain yang lebih efesien, kebetulan saat itu lagi nggak memungkinkan untuk ditunggu. 

Dan diera gempuran ojol yang bersliweran sana-sini dengan jaket seragam yang warnanya mencolok, Wagyo tidak gentar untuk terus mengayuh becaknya. Sebab dalam urusan mencari nafkah, Pak Wagyo memegang teguh pameo lama, "rejeki wis ono signature."

Umum menghormati lelaki tua itu, sebagaimana Pak Wagyo salut pada ketidak-gengsian pemuda bertubuh ceking ini. Bagi Umum, Pak Wagyo adalah cerminan manusia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

"Pak Wagyo, sampean itu kayak Nietzche, orangnya nrimo ing pandum." Pada suatu sore yang redup, Umum bilang begitu ke Pak Wagyo, setelah mereka terlibat deep talk di warkop. Pak Wagyo hanya membalas senyum. Lalu, sambil meminum es teh, Pak Wagyo mengurai cerita lama dari biografi hidupnya yang tak tertulis di buku manapun.

***

Sejauh yang masih nempel di ingatan lelaki tua itu, sebelum membecak, kehidupan yang dijalani Pak Wagyo terbilang full problematik. "Aku dulu pengin jadi Kurt Cobain," ucap Pak Wagyo, tertawa mengenang. Umum kaget nama rockstar kondang itu disebut melalui lisan seorang tukang becak. 

"Maksudku, pengen mati muda usia dua tujuh." lanjutnya. Mendadak sorot mata Pak Wagyo berubah sayu. Umum menatap lelaki tua itu lekat-lekat, terus mendengar kisahnya dengan khidmat.

Sewaktu muda Wagyo sempat bermimpi menjadi rockstar. Masa-masa STM dulu, selain aktif meramaikan tawuran pelajar, Wagyo juga kerap membolos bareng dua kawannya untuk jamming season di studio rentalan. "Brengkolang, nama bandku dulu, Mum." kenangnya, terbahak-bahak. Umum hanya menyimak, tidak tertarik menelisik makna filosofis band antah brantah itu.

Wagyo merasa begitu lepas dan gembira seutuhnya setiap gitar itu dikalungkan ke tubuh lalu ia meliar di panggung. 

Wagyo dan band cukup rutin nampil di gigs regist underground di kota asalnya, kota Railok. Brengkolang Band pernah juga mengikuti kompetisi festival musik pelajar dan menyabet gelar juara dua. Semenjak itu, nama band mereka mulai diperhitungkan di kancah skena lokal.

Hanya saja sayang, hingar bingar masa muda itu harus selesai begitu cepat setelah satu insiden menimpa hidupnya. Wagyo yang terlampau fokus ngeband membuat namanya di sekolah, kena banned. Persis di tahun kedua studinya, Wagyo resmi didepak dari sekolah. 

Ibunya mengalami shock berat saat menerima dan membaca surat keterangan drop out itu. "Ibu pikir kamu selalu rajin berangkat sekolah, nak." Itu kata-kata yang beliau ucapkan sebelum perempuan itu terbaring sesak nafas di atas ranjang dorong yang meluncur menuju UGD. Selama ibu ditangani dokter, Wagyo duduk lemes di ruang tunggu bareng bapak yang sedetik lalu, bolak-balik menampar pipinya sambil berkali-kali memakinya tolol.

"Serangan jantung, pak..." Dokter datang, menjelaskan panjang lebar perihal yang diderita ibu, namun hanya kalimat pertama itu saja yang masuk ke telinga, pikiran juga perasaan Wagyo. Remaja yang kalut oleh rasa bersalahnya itu, menangis. Bapak dengan lembut mengusap-usap rambut Wagyo, mencoba sebisa mungkin menenangkan anaknya di situasi seperti itu.

Namun sepulang dari rumah sakit, bapak yang belum tuntas, meneruskan murkanya. Sekonyong-konyong lelaki mantan kepala dusun itu ngamuk membanting gitar milik Wagyo, membuat remuk kayu ragangannya. Melihat gitar satu-satunya dirusak, mungkin marah mungkin pasrah, tetapi hanya diam yang bisa Wagyo ekspresikan. 

Sejenak, Wagyo mengambangkan lamunan, sebelum dengan sadar remaja itu menilep mimpinya serupa kertas, lalu membakar gambaran rockstar yang diagungkan di kepalanya.

"Aku akhirnya hidup kayak orang pada umumnya, Mum." katanya. Lelaki tua itu dengan sedikit bergurau bilang kepada Umum, "Singkatnya, aku pindah sekolah, lanjut kuliah, wisuda lalu coba melamar kerja dan, menganggur setahun."

***

Selama menjadi tunakarya, tak sedikit ia dengar ocehan mulut pedas tetangga yang memekakkan gendang telinga. Wagyo yang sudah wise sejak muda, menanggapi semua hinaan itu selalu dengan secuil senyum yang mengembang, tentu saja sambil dalam hati mendoakan, 

"Ya tuhan, azablah mulut terkutuk mereka dengan iler yang terus ngeces seperti kran bocor tiap mereka tidur, sampai iler itu membanjiri kamarnya dan menenggelamkan mereka sampai mampus. Amin!" 

Wagyo mendendam dalam batin. Di kepala, ia sudah memahat muka-muka pencibir itu. Awas saja, nanti kalau aku sudah sukses, akan kubikin mereka mingkem, sungkem dan kesengsem dengan gemilang masa depanku yang menyilaukan. Begitulah Wagyo membakar hatinya dengan bensin dendam yang tak akan sudi ia padamkan. 

"Setiap kegelapan pasti ada ujung. Dan ujung dari kegelapan, tiada lain munculnya cahaya penerangan. Serupa malam kelam yang pasti akan menemui romansa fajar, Mum." Wagyo percaya itu dan dia mengalaminya sendiri. 

Perlahan, kehidupan mulai melunak dan memihak padanya. Satu persatu kabar gembira datang dan mengusir kesuraman. 

Wagyo dapat kerja dengan gaji yang lumayan. Sekarang, bulan ke bulan tiada lagi bingung atau khawatir karena Wagyo punya pegangan. Bahkan lebih dari itu, kini ia sanggup membeli apa yang dulu tak terbeli. Hanya butuh setahun bekerja, Wagyo memboyong sepeda motor yang bunyi knalpotnya grang-grung, langsung lunas bayar di muka.

Tidak hanya itu, mungkin ada benarnya pepatah yang bilang, "money is king." Benar bahwa uang sanggup menjembatani hal lain untuk dipermudah kedatangannya dalam hidup. Bukti kecil dari itu, setelah dompetnya selalu tebal dengan kertas-kertas bertanda tangan gubernur bank,  Wagyo dapat pacar yang cantiknya bikin iri setiap orang.

Wagyo baru mengenalnya tiga hari, tapi ia sudah kesusu menyatakan perasaan. "Aku ingin menjalin hubungan yang serius. Dan kurasa, kamulah orang yang kucari selama ini." Begitulah mantra yang Wagyo ucapkan sambil menyodorkan rangkaian kembang, saat itu di dalam sebuah restoran berbintang. 

Si perempuan yang saat itu sedang memotong daging steak begitu terkejut mendengar deklarasi perasaan Wagyo. Seketika si perempuan menutup wajah yang memerah salah tingkah itu dengan kedua telapak tangan. Wagyo yang semula tegang sebelum menyatakan perasaan, mendadak ia jadi kaget melihatnya, "Jari kamu kenapa berdarah?" 

Sejurus kemudian si perempuan itu menjerit histeris setelah menyadari ia mengiris jarinya sendiri saat memotong steak tadi. Itu adalah malam yang berdarah, tapi sekaligus indah. Sejak malam itu, Wagyo bertekad untuk rutin menyisihkan setengah gajinya, ditabung demi ongkos nikah yang jelas tak murah.

"Tapi, Mum..." 
"Kegelapan juga punya seribu cara untuk balik lagi ke hidupmu." Pak Wagyo menyesap asap rokok untuk terakhir kali, sebelum menggilas putung ke asbak. 

"Kurasa baru sebentar hidupku membaik, pukulan telak datang bertubi-tubi menghantam ku. Seolah takdir menghendaki aku untuk musnah sekalian." ucap beliau, menahan untuk tidak netes.

***

Rencana masa depan yang sudah ia proyeksikan dengan mateng untuk menikah dengan si perempuan, mendadak hancur berantakan hanya dalam semalam, oleh satu kejadian. 

Wagyo sudah mantep melamar si perempuan setelah jalan tiga tahun berpacaran. Dua pihak keluarga bertemu untuk berembug dan disepakatilah tahun depan sepasang kekasih itu otw halal menggelar hajatan pernikahan. 

"Bayangkan, sebulan menjelang hari H, si jalang itu selingkuh, Mum! Brengsek!" Pak Wagyo mendadak bad mood mengenang peristiwa yang dulu bikin hatinya terluka parah.

Selama tiga tahun berpacaran, keduanya tak pernah terlibat pertengkaran hebat yang bikin satu atau dua mengatakan, sudahlah selesai. Hubungan dia dan si perempuan rasanya adem ayem saja. Wagyo bahkan tidak mengantongi secuil pun kecurigaan dari tindak-tanduk si perempuan. Pacarnya adalah tipikal perempuan rumahan yang tidak pernah berlaku macam-macam. 

Fakta itu, ketika ditabrakan dengan fakta baru ini, menghadirkan sensasi aneh di perasaan wagyo. 

Ia sama sekali tak menduga bahwa si perempuan -di malam yang tak masuk akal itu- kepergok selingkuh sebulan sebelum hajatan digelar. Si perempuan, - bersama seorang lelaki penganggur quarter life crisis yang cuma bermodalkan cerita sedih keluarga yang tak harmonis - ketangkap basah berduaan tanpa sehelai pakaian di kamar hotel murahan yang kena grebek satuan polisi moral. 

"Kalau selingkuhannya lebih oke, mungkin aku bisa maklum. Tapi ini," 
"malah kepatil sama loser. Nggak habis pikir, Mum." 

Perempuan itu menangis tersedu-sedu, melayangkan sejuta permohonan maaf pada Wagyo, bapak ibu kandung, beserta calon mertua yang datang ke kantor polisi moral. Wagyo sendiri, ia tidak sanggup untuk tidak ngamuk. Kalau saja ia tidak ditahan sama polisi-polisi di sana, pastilah si lelaki selingkuhan yang cuma bisa tertunduk lemas itu sudah babak belur wajahnya.

Malam itu semua cerita dengan si perempuan dipangkas tuntas di tempat, tidak ada part dua. "Mau gimana lagi, nasi terlanjur encer jadi tai." ucap Pak Wagyo dengan nada jengkel. 

***

Sebulan berlalu, patah hatinya belum sepenuhnya sembuh. 

Saat lukanya masih menganga, teramat sial baginya, luka itu malah diperdalam lagi dengan goresan baru. Ia tidak mendengar nyanyian gagak hitam di malam hari, tetapi sore itu, bendera kecil berwarna kuning berkibar-kibar ditiup angin, di depan rumahnya Wagyo.

"Ibu meninggal, nak." ucap Bapak, terisak di pesawat telepon. Kabar itu datang kepadanya tepat saat Wagyo hendak pulang sehabis menuntaskan kerja di kantor. Detik itu juga, meski tidak secepat burok, Wagyo ngebut gila-gilaan hingga motornya nyaris nyerudug penjual es cilok yang melapak di bawah rindang pohon trotoar. 

Tapi untung Wagyo selamat dan masih bisa ikut melayat. Di upacara pemakaman itu, air mata Wagyo sudah kering, sama sekali tidak menetes. Hanya siraman air mawar dan doa-doanya yang membasahi kuburan ibu. 

Bapak begitu terpukul setelah kematian ibu. Tiap sore lelaki itu akan menziarahi makam istrinya, dan tidur di sana. Pagi baru pulang, dan tak mau ngomong dengan siapapun, termasuk Wagyo. Ritual itu terus bapak lakuin seminggu lamanya. Sampai suatu pagi, balik dari kuburan, bapak menunjukan gelagat yang aneh. 

Lelaki tua itu hampir tiada henti tertawa-tawa sendiri. Lalu hari-hari setelahnya, mantan kepala dusun itu tiap menjelang sore akan berkeliling muterin kompleks perumahan dan tiap berpapasan dengan siapapun orang, beliau cekakan sambil berucap, "aku bahagia, hore hore!" Atas saran keluarga besar, bapak dirujuk ke RSJ. 

Baru sehari di sana, bapak kabur dan menghilang entah ke mana. Wagyo kemudian dapat info bahwa bapaknya ada di kota Sandekala, sejauh 120 km jauhnya dari kota Railok. Menurut info, di sana bapak menggelandang menyusuri jalanan tanpa sehelai benang menutupi badan. 

Wagyo begitu gusar mencarinya. Namun ia tak pernah menemukan keberadaan bapaknya. "Bahkan sampai hari ini, sampai aku sudah setua ini, aku nggak tahu beliau masih hidup atau sudah mati." 

Umum melongo mendengar rentetan nestapa yang dialami pak Wagyo. Lelaki tua itu mengambil jeda untuk membakar rokok kedua. Bersama asap yang berhembus keluar dari mulutnya, Pak Wagyo meneruskan, 

"Waktu itu, Mum, aku ajur diremukkan derita. Mirip pitik sayur yang dipitting piton." 

***

Wagyo yang frustasi memilih dengan sengaja untuk menjatuhkan diri ke dalam jurang kegelapan. Hampir tiap malam mabuk-mabukan dan tiga kali dalam sepekan menyambangi rumah pelacuran. 

Wagyo akan berpindah dari satu lokalisasi ke rumah bordir yang lain. Demi mencari sisa-sisa bahagia yang mungkin menyelinap di tubuh kupu-kupu malam. Ternyata, ia tak temukan sejatinya bahagia dalam dekapan hangat perempuan sejuta umat. Kesenangan dari mereka hanya sebatas kanalisasi yang mustahil bisa mengobati luka-luka yang jahanam.

Sampai suatu malam di salah satu kawasan berlendir yang dijajakinya, Wagyo ketemu seorang pelacur muda yang menawarkan kebahagiaan dari jenis yang lain. Jenis bahagia yang muncul dengan menyaksikan sesamanya sengsara. Demi merampas bahagia yang demikian, Wagyo dengan sukarela membayar sepuluh lipat lebih mahal.

Wagyo tidak peduli jika kalkulasi matematis menololkan dirinya karena membayar satu orang pelacur dengan segitu banyak uang, yang sebetulnya bisa dipake menyewa sekian pelacur serupa untuk sekian malam mendatang. Karena bagi Wagyo, pelacur ini sungguh spesial, secara historis.

Wagyo sangat mengenal sosok perempuan itu. Dan ia sama sekali tak menduga, perempuan itu kini menjadi seorang pelacur. "Hidup macam apa yang kamu lewati sampai berakhir di lokalisasi?" Wagyo membatin, sambil tersenyum sarkastik memandang si pelacur, yang dulu pernah dengan lancang mengawali menjatuhkan deret susun domino di kehidupannya. 

Pelacur itu, tiada lain adalah mantan pacar yang kegep selingkuh sebulan sebelum pernikahan.

Betapa bahagianya Wagyo malam itu demi melihat si jalang melucuti pakaian dengan keengganan yang anggun berselimut keterhinaan. Wagyo tepuk tangan dan cekakan sambil berseru, "aku bahagia, hore hore!" begitu perempuan itu absolut telanjang. Segera setelahnya, Wagyo meletakan segepok uang itu di atas ranjang. Ia lalu pergi tanpa menyentuh sedikitpun, bahkan sehelai rambutnya saja tidak.

"Oh ya, itu sisa-sisa uang yang dulu ku tabung untuk menikahi kamu. Nggak banyak sih, tapi cukuplah untuk biaya hidupmu sebulan ke depan."

"Haha, koreksi kalau aku salah." Ucap Wagyo, tertawa di depan pintu yang terbuka. "Ku tebak, kamu pasti nggak bahagia ya setelah dariku."

"Ku tebak, kamu juga engga bahagia. Kalau iya, ngapain kamu sewa pelacur?" ucap si Perempuan, setelah Wagyo menghilang dari lorong hotel. Pelacur itu menangis, sembari memasukan uang ke dalam tas, ia membatin, "Kalau sama-sama nggak bahagia, kenapa kita nggak bersama aja untuk ciptakan bahagia."

"Kalau sama-sama nggak bahagia, kenapa kita nggak bersama aja untuk ciptakan bahagia." Ide itu muncul di pikiran Wagyo, lalu segera ia usir setelah berjalan jauh meninggalkan hotel di kawasan pelacuran itu. 

Itu menjadi malam terakhir Wagyo berwisata lendir. Sebab uang sudah terkuras banyak demi membayar lunas sebuah dendam atas luka lama yang jahanam. Uang yang tersisa di kantong, rencananya akan Wagyo gunakan untuk beli senapan api yang biasa dipake nembak burung. Hanya dengan itu Wagyo bisa merasakan definisi dari akhir yang bahagia.

"Tapi nggak jadi, mum."
"Kenapa nggak jadi, pak?" tanya Umum, yang tak digubris pak Wagyo.

***

"Sampai akhirnya kudengar, Kurt Cobain tewas bunuh diri."
"Jaman itu dunia dibikin heboh sama matinya sang rockstar."

April 1994, jasad Kurt Cobain ditemukan kaku di kediamannya di kota Seattle, Amerika. Kematian Kurt Cobain menambah daftar panjang ikon musik dunia yang mati muda diumur dua puluh tujuh. Kurt menyusul Jim Morrison, Jimi Hendrix dan anggota superband 27's Clubs lainnya yang sudah duluan mentas di surga. 

"Di surga mereka bikin orkes dangdut koplo kali, ya, pak?" lagi, Pak Wagyo enggan menanggapi celotehan Umum.

Hari itu sentimental di rasa. Beres melipat dua surat yang dia tulis untuk anak istri serta teman imajinernya yang bernama Boddah, Kurt Cobain duduk menyesap sebatang Camel Light. Usai hisapan ke terakhir, rockstar itu bergegas meracik lalu menyuntikan heroin ke siku lengan kirinya. Kurt enggan berlama-lama sebab malaikat maut sedang menunggunya. Ia berdiri meraih senapan, meletakan moncongnya ke dalam mulut dan, dia selesai.

"Dia bohong ya, pak." 
"Kurt berkali-kali bilang 'no i don't have a gun' tapi dia malah nembak dirinya sendiri." komentar Umum, menafsirkan sepenggal lirik dari lagu Come As You Are.

Pak Wagyo diam sejenak, sebelum ia berucap, "Dia mati tapi disaat yang bersamaan, dia terlahir kembali, Mum."

"Kurt Cobain, sampai hari ini masih hidup dan akan terus hidup di hati muda-mudi pemberontak." usai berkata demikian, gerak bibir pak Wagyo terlihat sedang merapal entah doa entah apa.

"Terus, senapan burung itu jadi terbeli, pak?
"Nggak juga."
"Kenapa nggak jadi, pak?"
"Uangku kurang, Mum."
"Walah." 

Umum sedari tadi gatel ingin melontarkan sebuah pertanyaan. Hanya saja, ia agak ragu. Sampai akhirnya gatel lisannya tak tertahankan lagi, Umum pecahkan keheningan di warkop ini.

"Bapak tetep kepikiran mau bunuh diri?"
"Begitulah."

Hari itu, juga sentimental bagi Wagyo. Seperti biasa, jalanan kota Railok ramai oleh lalu lalang kendaraan. Pemuda 27 tahun yang frustasi itu berdiri terbengong di pinggir jalan. Usai menggilas putung rokok dengan sepatunya, Wagyo menyeberang dan berdiri tepat di tengah jalan. Ia pejamkan mata seraya merentangkan kedua lengan lebar-lebar.

Wagyo berharap, sebentar lagi akan ada truk pengangkut ayam atau minimal bus lintas provinsi yang ngebut dengan kecepatan maksimal, lalu menghantam dan koyakkan tubuh. Hanya saja sial, hanya ramai oleh bunyi klakson dan teriakan tolol yang Wagyo terima dari pengendara yang lewat, yang melihat pameran seni instalasi putus asanya itu. 

Wagyo tak bergeming. Tetap memejamkan mata dan merentangkan tangan. Ia begitu optimis sebentar lagi nyawa pasti melayang. Dan benar, akhirnya ajal yang ditunggunya pun tiba. 

Dari lajur sebelah kanan, sebuah becak yang ngebut tak karuan berujung menabraknya dan, Wagyo cuma kaget doang.

-BERSAMBUNG | NEXT CHAPTER : JUMAT, 21 APRIL 2023 


jika berkenan silakan tulis tanggapan kalian di kolom komentar. terima kasih :)

Posting Komentar

0 Komentar