Adalah Anugerah - Prototype Cerita [04]


"Saya bantu bicara ya, mbak." pada akhirnya, dokter muda itulah yang menjelaskan detail situasi terkini di ruang persalinan ini ke seseorang yang berada dalam radius sekian kilometer jauhnya. Sebab sedari tadi, sekian menit sudah ia menggenggam nokia yang dipinjamkan si dokter, perempuan itu cuma bisa nangis sesegukan.

Sementara Wagyo, selama waktu itu ia cuma sibuk mendengar ratusan kali detak jam dinding dan berdiri mematung persis lutung linglung. "Ngapain? Ngapain aku di sini, bersama orang-orang asing ini?" Wagyo, persis seperti Alien yang kesasar di bumi.

"Mas, sini." perempuan itu memanggilnya. Sejenak, Wagyo tingak-tinguk macam kunyuk ditulup. Tetapi sungguh ajaib, biar bingung gimanapun, kakinya itu patuh saja melangkah mendekat ke perempuan yang belum juga Wagyo ketahui namanya.

"Temani aku sebentar." perempuan itu berucap, seraya menggenggam tangan kasar si pemuda frustasi. Sekalipun itu bukan kali pertama, Wagyo tetap kesetrum saat disentuhnya. 

Beres menyeka air mata, merasa mendingan dan agak tenang, perempuan itu menempelkan ponsel ke telinga. Wagyo bukan maksud menguping, hanya saja, berada di posisi itu nyaris mustahil baginya untuk tidak mendengarkan percakapannya dengan orang di telepon yang Wagyo tebak, itu bapaknya si perempuan. Mau nggak mau, Wagyo pun jadi tahu sekilas tentang dia.

Perempuan itu berusia dua puluhan, dia gadis ibukota. Lebih kurang dua tahun sudah ia merantau di kota Railok. Sekarang, agaknya ia mahasiswi semester empat. Begitulah, Wagyo berspekulasi. 

Melalui percakapan yang jelas didengarnya, Wagyo mulai paham seluk beluknya. Selama sembilan bulan mahasiswi itu sukses merahasiakan kehamilan dari orang tua. Selama sembilan bulan juga ia merawat janin di perut seorang diri, begitu menyadari fakta pacarnya lenyap ditelan keparnoan setelah perempuan itu bilang, "aku telat tiga bulan."

Dalam hati, Wagyo kagum betul pada ketegaran itu perempuan. Sekalipun itu kecelakaan yang jelas tak direncanakan, perempuan itu bertekad untuk tetap merawat janin kehidupan. Dalam pikiran, Wagyo mengutuk habis si lelaki yang sudah sembarang buang mani tanpa mau menanggung kehadiran seorang bayi. Dalam hati sekaligus pikiran, Wagyo menepis penyesalan yang sempat bercokol setelah gagal bunuh diri. Malah bersyukur nggak jadi mati, sebab kini Wagyo mulai memahami bahwa hidup ini sangat berarti.

***

"Saking ngebutnya, yah, jadi tukang becak yang nganter aku itu malah nabrak mas-mas yang kayaknya mau bunuh diri." perempuan itu sempatkan untuk melirik Wagyo dan tersenyum sebelum kembali menyambung obrolan. Kepada ayahnya, perempuan itu begitu heboh melontarkan pujian atas kebaikan si mas-mas gagal bunuh diri itu. Mendengar dirinya dipuji segitunya, Wagyo terbang diantara kaget dan senang.

"Haha, kocak! Wong kok kagetan." Umum menepuk keras punggungnya sampai dada lelaki tua itu menubruk tepian meja dan gelas es teh yang berdiri di atasnya menjadi rebah lalu menggelinding dan jatuh pecah. Umum dan Pak Wagyo sama-sama kaget. 

Pak Wagyo mesti menunda lanjutan cerita sebab ia menunggu Umum yang sibuk bereskan beling-beling tercecer akibat ulahnya sendiri. "Pak Wagyo, pesen kopi nggak?" Umum sedikit berteriak dan disambut dengan acungan jempol oleh si tukang becak paling senior. 

Dua gelas kopi yang selisipan mengepulkan uapnya itu kini terhidang di meja. "Ah, sialan! Rokokku habis, Pak. Bentar, ya." Tanpa menunggu jawaban Umum bergegas jalan ke warung kelontong yang tak jauh dari warkop tempat mereka nongkrong. Sedang Pak Wagyo, melemparkan lumanan saat memandang jalanan ibukota yang sore itu padat merayap oleh bubaran pabrik.

"Pak, becak."
"Up." perempuan muda yang berpeluh keringat itu mendengus kesal dan berlalu pergi setelah Pak Wagyo menolak permintaanya untuk diantarkan. 

Tak lama berselang, Umum kembali duduk lalu membakar rokoknya. "Cewek keringetan tadi kenapa ya, pak? Pas jalan ke sini tadi kudengar dia ngos-ngosan sambil gerutu gini : cuma tukang becak tua belagu yang narik penumpang nggak mau."

***

"Mau sampai kapan, Wag?!" batinnya.

Wagyo merasa perlu secepatnya pergi dari rumah sakit ini. Makin lama membisu, makin banyak waktunya terbuang percuma. Lagian, demi apapun dia tidak punya sedikitpun kepentingan di sini. Juga, nggak ada keharusan baginya untuk peduli dengan derita perempuan asing yang semakin merekatkan jemari ke jemarinya.

"Mbak, aku balik, ya." ucap Wagyo, akhirnya.
"Aku perempuan yang menyedihkan, mas." tiba-tiba dia bilang begitu, bersamaan dengan bulir air yang turun lagi melintasi tepian mata, lalu memecah dan berarak membasahi pipi mulusnya.

Melihat itu, Wagyo hanya reflek menggaruk kepalanya. Tetapi setelah sebelah tangan itu menganggur, Wagyo membendung kebocoran dari mata si perempuan. Tanpa ada kata, ruangan itu sesaat terasa sendu seolah tengah mengalun tembang dont cry-nya gun n roses sebagai backsound.

"Halo, Haii!" Wagyo dan si perempuan tersentak hebat begitu pintu ruangan sedikit terbuka, lalu dari baliknya mula-mula menyembul itu, kepalanya doang. Sesosok lelaki dengan tampang bengis pemilik kepala itu mendadak muncul dan menyapa mereka dengan sapaan sok asik.

"Walah, Pak Harto, toh. Bikin kaget aja."
"Beliau ajudan keluargaku, Mas." terang si perempuan.

***

Lima belas menit sebelum Pak Harto muncul mengangetkan mereka, ajudan itu sendiri mengalami kekagetan yang serupa. 

Saat Pak Harto bersantai di teras rumah sembari menyesap cerutu favorit, telepon genggam itu berdering. "Tumben sekali bos besar menghubungiku. Ada tugas darurat, kah?" Ia membantin sebelum menghentikan bunyi ringtone yang menyebalkan. Bos besar itu tanpa basa-basi langsung nyerocos curhat. Si bos bilang, dia shock mendadak dikasih hadiah bayi perempuan yang mungil dari anak gadisnya yang ia tahu masih perawan. 

"Apa sebelumnya kamu sudah tahu, to?"
"Sama sekali tidak, bos. Saya kaget, bos." jawab Pak Harto, berbohong.

Padahal beberapa bulan sebelumnya Pak Harto sudah mengetahui. Ia menjadi orang pertama yang diberitahu langsung oleh tuan putri tentang kehamilannya. Tuan putri, datang ke rumah Pak Harto dan dengan air mata berleleran, ia bercerita detail mengenai kecelakan yang menimpanya di suatu malam minggu, di dalam kostan.

Pada malam minggu yang telah larut, dua sejoli itu saling tatap lalu bersepakat, "Keheningan ini pasti bakalan mengganggu ritual kita." Usai mengubah posisi ranjang menghadap persis ke arah pintu, mereka menyetel musik berisik demi menyarukan suara surgawi yang berpotensi terdengar sampai luar kamar. Tanpa pengaman tanpa pemanasan, tak sampai lima menit, selesai.

Pak Harto dengan seksama dan penuh empati mendengar curhatan pilu putri semata wayang kesayangannya majikannya.  Pak Harto paham betul bagaimana perasaan was-was yang kini dirasakan tuan putri. Sebab pas dirinya muda dulu, ia juga punya pengalaman yang serupa. 

Berbekal pengalaman itu, Pak Harto menawarkan exit plan. Tetapi tuan putri menggeleng. Pak Harto masih mencoba untuk membujuk dengan menjelaskan betapa repotnya memelihara janin di perut yang makin hari makin membuncit. "Aku nggak mau membunuh kehidupan, Pak Harto." sekali lagi, Tuan Putri menggeleng sembari mengelus perutnya.

"Kalau itu maunya Non, saya punya hak apa untuk melarang."
"Tapi tolong pertimbangkan nasehat saya." Ucapnya dengan nada serius. 

Lalu sang ajudan itu memaparkan sebuah permisalan. Misal, saya adalah orang tua kamu, yang mengetahui anak gadisnya hamil dan bilang tidak mau menggugurkan janinnya, saya pasti mencoba legowo dan merestui niat muliamu itu. "Tapi, Non. Sebagai orang tua, saya sangat tidak sudi jika gadisku menikah dengan lelaki yang menghamilinya." pungkas Pak Harto.

Tuan Putri menanggapi itu dengan tersenyum. "Memang sudah nggak mungkin untuk itu, pak." 

Pak Harto menjadi murka ketika mengetahui bahwa si pacar kabur begitu saja. Lelaki yang mudanya dulu terkenal sebagai preman bengis ibukota, meminta izin kepada tuan putri untuk memburu pacarnya. Bahkan tak tanggung-tanggung Pak Harto bilang bakal membawa potongan titit bajingan mokondo itu.

"Nggak usah, pak. Aku nggak perlu itu."
"Aku cuma mau minta tolong sama Bapak. Tolong jangan kasih tahu siapapun kalo aku hamil, khususnya ke ayah ibu." tuan putri memohon dengan lesu. Begitulah, pada akhirnya Pak Harto mengunci rapat mulutnya.

***

"Bapak tadi nelpon, minta saya untuk ngurusin semua keperluan Mbak Flor," ucap Pak Harto, sambil menimang-nimang si bayi yang baru sedetik ia gendong langsung nangis.

"Flor?" Wagyo memikirkan sesuatu yang entah di kepalanya. Seperti bisa membaca pikiran, perempuan itu melafalkan namanya sendiri, "Florence." lalu tersenyum seraya menyodorkan tangan. Lagi, senyuman perempuan bernama Florence itu membuat kaget lelaki yang hari ini gagal bunuh diri. "Wagyo." ucapnya, menyambut tangan mulus Florance yang mengajaknya bersalaman. Melihat adegan yang janggal itu, dengan susah payah Pak Harto mencoba untuk menahan ledakan tawa.

"Oh, ya. Kalau bisa, emm siapa tadi.." 
"Ah ya, Mas Wagyo, maaf.."
"Kalau Mas Wagyo nggak keberatan, pak bos dengan sangat minta tolong supaya kamu mau menemani Mbak Florence sementara waktu." Pak Harto mengulangi kalimat yang sempat tak sempurna diucapkannya barusan. 

Lalu Pak Harto menjelaskan pada mereka bahwa dia sudah menyiapkan rumah kontrakan yang nyaman di kawasan yang aman dari cibiran tetangga usil atau polisi moral yang hobi grebek dua manusia dewasa tanpa status pernikahan yang tinggal seatap. Wagyo, mungkin tolol atau beneran seneng, menanggapi permintaan itu dengan iya-iya saja. Keputusan Wagyo yang tanpa pikir panjang itu bikin Florence berseri-seri aura wajahnya.

Pada detik itu, di benak Wagyo muncul pertanyaan yang enggan untuk ia analisis jawabannya. "Tuhan, ini apa namanya kalau bukan takdir?" Seorang Wagyo yang sebatang kara dan diambang putus asa, dipertemukan dengan Florence perempuan yang anggun sekaligus rapuh menyedihkan. Yang demikian, apa namanya kalau bukan takdir?

"Ini jatuhnya musibah atau anugerah, pak?" Umum tersenyum gembira mendengar cerita yang hampir menyentuh epilog. 
"Mungkin keduanya, Mum." Pak Wagyo mengatakan itu sambil melempar senyum yang, getir.

***

"Mas Wagyo, mau jadi ayah bagi cucuku?" Wagyo terbatuk demi mendengar permintaan lelaki tua yang beberapa kali wajahnya pernah ia lihat saat nongol di koran dan televisi. 

Seminggu sudah Wagyo dan Florence living together. Dua manusia itu sudah selayaknya suami istri saja, mereka bahu membahu merawat bayi mungil yang lucu. Disela kesibukan momong anak, mereka berdua banyak habiskan waktu untuk bercerita dan bercanda dengan begitu mesra. Mungkin saja, cinta sudah mulai mekar di hati keduanya.

Seminggu setelah mereka menempati kontrakan ini, kedua orang tua Florence yang nyaris selalu sibuk sempatkan waktu untuk singgah sebentar di kota Railok. Jauh-jauh dari ibukota tentu mereka datang hanya demi menjenguk anak gadis tersayang sekaligus cucunya. Sementara ibu dengan antusias menggendong si cucu, usai bercakap dengan Florence, lelaki tua famous itu kemudian menghampiri Wagyo yang ketika keduanya datang, mantan pemuda frustasi itu memilih keluar dan duduk di pelataran sambil merokok.

Ayahnya Florence duduk membersamainya dan ikut membakar sebatang rokok sebelum akhirnya membombardirnya dengan sebuah pertanyaan yang mustahil bisa spontan dijawab uhuy. "Florence sepertinya suka sama kamu, Mas Wagyo."

"Sama, pak! Aku juga jatuh hati sama anak gadismu itu." Wagyo menjawab dalam hati.
"Jadi gimana, Mas Wagyo?" Lelaki tua famous itu terus memburu jawabannya.
"Sabar, nyet!" Andai berani mulutmya ngomong gitu. Tetapi Wagyo masih saja bungkam. 

Dalam pikiran, ada banyak hal yang mesti ia timbang dan perhitungkan. Menikah bukan perkara main-main. Ia perlu meyakinkan dirinya apakah benar dia mencintai Florence, atau sebetulnya, itu cuma semburat obsesi sesaat. Keraguan dan keyakinan, kini sedang head to head di kepalanya yang gemrungsung. 

Tetapi sebetulnya di dalam perasaan, di sana, sudah terkunci sebuah jawaban. "Mungkin, memang beginilah takdirnya, Pak." Wagyo mantep mengatakan itu kepada ayahnya Florence setelah ia memutuskan untuk taklid buta pada perasaan. "Persetan kalkulasi rumit pikiran! Aku memilih menuruti kata hatiku."

"Lalu, Mum, kami menikah dan, bahagia." Pak Wagyo mendadak tersedu dalam tangisan yang memilukan usai berkata demikian. Umum dibuat bingung, mengapa cerita dengan ending sebahagia itu malah bikin lelaki tua ini menangis. Terlalu sentimental, kah? Atau bahagia itu, bukan klimaks ceritanya? 

Apapun itu, tetap saja Umum tak tega melihat rekan seperbecakannya terisak. Didorong oleh empatinya, Umum mencoba menenangkan dengan menepuk-nepuk punggungnya. 

"Pelan-pelan, tolol!" Pak wagyo batuk-batuk.

-BERSAMBUNG | NEXT CHAPTER : JUMAT, 12 MEI 2023 

< PREV - DAFTAR CHAPTER - NEXT >

jika berkenan silakan tulis tanggapan kalian di kolom komentar. terima kasih :)

Posting Komentar

0 Komentar