Sringsing - Prototype Cerita Pendek

Harto sebel sore itu jadi harus bolak-balik kamar mandi demi buang ingus. Entah sudah sringsing yang keberapa, jari telunjuknya sudah lihai memainkan peran menekan sebelah kanan menutup rongga hidung rapat-rapat. Berbarengan dengan itu nafas ia pompa kuat-kuat pada rongga sebelah kiri dan secepat kilat lendir itu keluar melompat. "Bajingan, kok merah?!" Agak parno dengan resiko yang entah jika terus-terusan sringsing, Harto putuskan untuk sudahi.

Ia kembali masuk ke kamarnya. Duduk, menggenggam botol kecil dan memutar penutupnya ke arah kanan. Cukup tiga putaran penutup botol itu mengendor. Dihirup pelan begitu terbuka, aromatherapy menyeruakkan baunya yang khas. Harto menempel dan mengoleskan ujung botol yang berbentuk bola itu ke tepian hidungnya. Kehangatan menjalar, memboikot melernya ingus.

"ti, aku flu." Harto mencet icon pesawat kertas dan pesan itu terbang diantar merpati sinyal menuju ponsel Siti yang tergeletak anteng dalam saku celana jeansnya. Sontak, kedatangan pesan itu menggetarkan paha dan Siti terpancing segera menggambilnya. Pesan itu dibaca tapi tidak dibuka. Lalu setelahnya, Siti lanjut ngobrol bersama lelaki yang sudah sejak siang main ke kostnya. 

"Bukan itu yang pengen kutulis," Harto berkata tidak kepada siapa-siapa. Sebetulnya, Harto ingin mengatakan sesuatu yang jauh lebih penting dibanding sekedar kabar dirinya yang kena flu. Memang antara flu dan hal penting itu saling berkaitan. Itu terjadi kemarin malam. Ia membonceng Siti dengan Jupiternya yang ngambekan, menuju ke sebuah cafe di bilangan Sleman.

"Ngapain tiba-tiba ngajak ke sana?"
"Ada hal penting yang harus kuberesin." jawab Siti. Ketika Siti memintanya untuk ikut menemani ke sana, Harto tidak banyak tanya dan langsung gas menjemput itu perempuan di kostnya. Barulah saat setengah perjalanan ia bertanya. Bukan karena penasaran, hanya saja sekedar membuka obrolan. Sebab semenjak Siti duduk di jok belakang suasana di motor ampleng celeleng. 

"Apa yang harus diberesin itu?"
"Dia." Harto paham, dan tidak berselera melanjutkan tanya.

"Gak apa-apa, kan?" merasa tidak enak hati, sekian menit setelah mandegnya percakapan, Siti menanyakan hal yang dia tahu pasti jawaban aslinya.
"Menurutmu?" pertanyaan itu tidak dijawab Siti, dan lenyap begitu saja berkat hujan yang turun tanpa aba-aba.

"Sialan!" Harto mengumpat, "Mau lanjut atau neduh?" sambungnya.
"Menurutmu?" pertanyaan itu dijawab Harto dengan tanpa menghentikan laju motornya.

Setibanya di parkiran Cafe yang ramai, Harto langsung memutar anak kunci miring kanan. Harto hendak turun dari motor dan masuk ke cafe itu karena tak tahan dengan hujan yang terus saja menghantamkan air ke sekujur tubuhnya yang terlanjur kuyup. Tetapi Siti menepuk pelan bahunya seraya berkata, "Sebentar." Bagai dihipnotis, Harto diam tak bergerak.

Keduanya masih duduk di atas motor, di parkiran. Siti mengeluarkan ponselnya, tak peduli benda itu basah oleh hujan atau bahkan air matanya. Cepat ia membuka fitur kamera dan dalam sekejap gambar dengan landscape potrait berhasil dijepret. 

"Ayo pulang."
"Hah?"
"Gak mau turun dulu?"
"Samperin sekalian, nanggung!" protes Harto. Tetapi Siti menggeleng dan nangis. Harto melihat tetesan air mata yang kecampur hujan itu melalui spion.

"Atau, aku saja yang nyamperin?"
"Gak usah, pulang aja, To." ucap perempuan itu, lemes.
"Tolol!" tentu itu tidak dilisankan oleh Harto, hanya keras dia teriakan di kepalanya sendiri. Dan dengan segera mereka pergi menjauh dari Cafe itu.

"Ngiyup dulu aja, To. Hujannya deras."
"Dari tadi juga deras, Sitol!" lagi, tak mungkin itu berani diucapkan mulutnya. 

Motor terus menerabas hujan sebelum akhirnya mandeg di depan emperan sebuah toko besi yang bangkrut. Tidak hanya basah, raut wajah Harto juga kusut oleh  amarah yang direpresi. Tidak hanya basah, raut wajah Siti layu memproyeksikan kecewa. Masing-masing mulut tak bertenaga bahkan untuk melontar sepatah kata.

Lima belas menit dalam dingin dan sunyi, dengan keduanya menatap ponsel yang menyala. Sementara Siti mengirim chat ke seseorang di whatsapp, Harto membuka p*rnhub, dan jelas, itu fitrah fitnah. Mana mungkin begitu!

"Baca ini, To." Siti berucap, Harto kaget nggak siap. Wajah yang semula kusut berangsur jadi mrenges dan manggut-manggut. Harto, sejuta persen setuju dengan yang barusan dibacanya. Siti menulis pesan yang singkat, padat, dan jelas, beserta lampiran gambar yang dicapturenya di parkiran tadi. 

"KITA PUTUS." pesan itu sudah centang biru sesaat sebelum Siti menekan tombol power.

Harto tidak merespon dengan kata, cukup dengan senyum dan menggenggam tangan Siti tanpa keraguan. Siti memiringkan kepalanya, menyendarkan ke pundak lelaki itu. Lima belas menit berikutnya dalam hangat dan senyap. Sejenak perasaan menjadi megah sebelum malam memaksa mereka pulang.

Lima belas menit lewat sejak pesan itu terkirim tak berbalas, Harto merasa perlu menelponnya sekarang. Berdering, tetapi suara itu perempuan tak kunjung terdengar di speaker ponselnya. Tak sampai semenit, panggilan itu otomatis berhenti. "Sekali lagi," katanya dan hasilnya sama. "Sunnahnya tiga." lagi, hasilnya tak beda.

"Siapa?" tanya lelaki itu, ketika dering ponsel milik Siti mendistraksi percakapan.
"Anu, si Harto."
"Oh, angkat aja."
"Nggak usah, biarin."
"Udah dua kali telpon. Siapa tahu penting."
"Paling cuma sekali lagi habis itu dia nggak nelpon lagi." kata Siti yang sejuta persen mengandung kebenaran tak terbantahkan.

Menjelang magrib, Harto memutuskan mengendarai jupiternya menuju kost Siti. Lalu duduk di sana, dan dengan serius membicarakan hal penting yang tadi luput tak ia ketik dichat. Itu rencananya, sebelum mendadak motornya dengan bijak memilih untuk tidak menghentikan laju begitu melintas di depan kost itu. Bahkan mandeg barang sedetik, enggan!

"Aku harus menuntaskan sringsing." ucap Harto saat di jalan pulang.
"Meler maupun mampet, namanya ingus tetep bikin sulit nafas."

Ndog Asu.

Posting Komentar

1 Komentar