Sekelebat - Prototype Cerita Pendek




Dua orang itu bertemu. "Sialan!" umpat si pemuda, kaget mengetahui siapa yang berdiri di sana, dalam radius sepuluh meter di depannya. Takdir sudah memanggil, mau berbalik menghindar, juga percuma. Untuk sekarang, agaknya nasib apes mustahil dipermak menjadi keberuntungan, apalagi jika ia memilih mundur. "Aku hanya perlu melangkah maju." katanya, coba meyakinkan diri.

Dibawah remang lampu penerangan jalan, samar-samar matanya menangkap bayang sesosok lelaki paruh baya usia tiga delapan. Lelaki itu tampak bersahaja mengenakan baju orange lengan panjang, celana training warna hitam, serta topi berlambang bintang. Cukup hanya dengan bilah panjang sebuah sapu yang erat digenggam kedua tangan, lelaki paruh baya itu mengintimidasinya dari kejauhan.

Sementara itu, ia sekilas saja mengarahkan pandang, sudah cukup jelas bagi si lelaki yang selalu awas untuk cepat menyadari keberadaan itu pemuda. Di trotoar sana, sejauh sepuluh meter dari tempatnya berdiri, seorang pemuda usia dua puluhan yang menyembunyikan wajah dengan cindung jaketnya, sedang mengamatinya. Dengan kematangan pengalaman, tak sulit bagi si lelaki untuk segera menangkap kesan ragu-ragu yang tebal dari tekad si pemuda yang selama sekian detik terdiam mematung.

"Sekarang kau mau apa?" lelaki itu membatin, sembari meneruskan aktivitas menggeser dedaunan kering ke pinggir trotoar dengan sapunya.

Demi meniadakan kesan kikuk, sekaligus meredam cemas dan ragu-ragu, si pemuda bergegas mengambil sebatang rokok. Angin menjelang subuh menyulitkan api untuk bersetubuh dengan campuran cengkeh dan tembakau di dalam rokok miliknya. Tiga kali usaha barulah bara menyala. Dengan segera asap menyembul melalui mulut dan hidung. Sambil mengusir sisa-sisa keraguan, si pemuda melangkah pelan.

Sepagi itu jalanan sunyi senyap, tak banyak kendaraan. Kesunyian itu sebatas terusik oleh derap langkah sendal jepit si pemuda yang seolah beradu keras dengan suara gesekan sapu ke aspal milik si lelaki paruh baya. Sesekali semribit angin ikut menimpali dan mengaburkan bentrokan dua suara. Kadang angin juga usil menembus jaket tebal yang membungkus rapet tubuh si pemuda dan membuatnya menggigil. "Lelaki itu juga merasakan kedinginan yang sama," pikir si pemuda.

Dalam setiap gerakan menyapunya yang monoton, lelaki itu jelas sedang berhitung. "Manuver seperti apa yang akan kau lakukan?" ia mengamati langkah demi langkah si pemuda yang kian mendekat. Hanya perlu sebelas langkah lagi, katanya, ia dan si pemuda akan beradu tatap. Dan itu dirasa sangat menegangkan sekalipun si lelaki mengantongi segudang pengalaman.

Kini matanya dan mata lelaki itu intens saling pandang. Tanpa senyum, ngangguk atau punten permisi, pemuda itu lewat begitu saja di depannya yang tidak berhenti menyapu sampah-sampah. Sikap tidak sopan itu membuat si lelaki merasa diuntungkan karena ia nggak perlu repot-repot nawarin mangga. 

Secepat kedipan mata, mereka sudah saling membelakangi. Si pemuda tahu apa yang akan terjadi kepadanya usai bertatapan dengan lelaki itu. Si lelaki tahu apa yang harus dilakukannya kepada pemuda itu. Keduanya sama-sama waspada.

Tapi si pemuda malah tersenyum. Ia merasa menang. Nasib mujur tampaknya sekarang memihak dirinya. Karena tepat di hadapannya terbentang luas sebuah harapan begitu ia menyadari bakal berjalan menuju ke jembatan. Kali ini tanpa sedikitpun ragu, ia mempercepat langkah kaki setelah menyelipkan sebelah tangan ke kantong jaketnya.

Bagi si lelaki, melihat cara pemuda itu berjalan, itu sama saja pertanda buruk. Apakah ia sempat skip dalam mengawasi si pemuda? Ia tidak merasa begitu. Tetapi, ia akan menyesal seumur hidup jika pertanda yang terkesan sepele itu ternyata menjadi boomerang yang membahayakan hidupnya dan sekeluarga. Maka buru-buru ia membuang sembarang sapunya. 

Kini di tangan lelaki itu erat tergenggam sebuah revolver. Diam menodong dan mengarahkan kemanapun pemuda itu berjalan.

Pemuda itu tahu ada revolver yang kapanpun siap meledakan kepalanya. Tapi ia tak peduli. "Aku pasti menang, tolol!" ucapnya lirih. Sekarang ia tepat berada di tengah jembatan. Sambil tersenyum lebar, ia menggilas putung rokok dengan sendal. Tiga tiang berhasil dinaiki dan kini ia berdiri tegak merentangkan kedua tangan di atas jembatan. Si lelaki sedari tadi tak menggeser sedikitpun posisi kaki, masih dengan revolver yang gagah diacungkan. 

Hanya butuh sekian detik saja baginya untuk menarik pelatuk itu dan, melubangi tengkorak kepala si pemuda. Tapi ia urung melakukan. Bukan karena ragu, hanya saja, ia sedang membaca angin, meminimalisir lesatan pelurunya dibelokkan. Sementara di atas jembatan sana, pemuda itu bersiap menciptakan angin yang kencang dengan kepakan kedua tangannya yang merentang. Nanti, saat ia melompat ke bawah. 

Angin mendengar pikiran kedua orang itu. Tetapi angin sama sekali tidak peduli, lalu langsung pergi dengan hembusan yang menyejukan menjelang kedatangan fajar. 

Tiada keraguan bagi si pemuda untuk terjun bebas. Tidak ada belas kasihan entah peluru yang ditembakkan si lelaki mengenai kepala, perut atau sekedar pelipis. Dan itu semua akan berlangsung setidaknya lima detik ke depan. Keduanya berhitung, sama-sama siap. 

Sementara angin, ia hanya lalu lalang sambil menyaksikan peristiwa yang besok pagi, pastinya menggegerkan. Tetapi, tanpa pernah diduga, angin itu kegocek. Angin terkejut dengan dirinya sendiri. Ia heran, mengapa ia yang semula berdesir pelan malah mendadak ingin menjadi wus dengan begitu hebohnya?

Kedua orang itu, bahkan lebih kaget dari sang angin. Dari arah yang tidak terprediksi datangnya, sebuah motor matic melesat dengan kencang. "Aaaaaaaa!" teriak si pengendara yang sekaligus perempuan pemerhati penampilan sesaat setelah jari telunjuknya nyentuh dan nekan tonjolan jerawat di pipinya.

Posting Komentar

0 Komentar