Platform mahaplung cukup lama gak keurus. Kalau ibarat rumah, pasti sekarang mudah untuk menemukan sarang laba-laba yang kecampur debu dengan dominasi warna cokelat tua, menggantung di atap atau sudut-sudut temboknya. Debunya sendiri -entah di lantai atau mana saja- pastinya sangat tebal dan lebih dari sekedar cukup untuk tayamum. Malahan, mungkin saja rumah yang lama gak dihuni itu kini jadi tempat nongkrong para demit sebelum berangkat ke SatanCon 2023, untuk memperingati harlah ke-10 The Satanic Temple di Amerika. Atau, paling gak ya pas ada orang yang membuka pintu rumah ini, seekor kecoa kaget dan lari menyelinap ke selipan lemari, sekaligus bikin kaget orang tadi.

Sejauh yang bisa dilihat bersama, tulisan termutakhir yang ada di mahaplung saya posting tanggal 24 September 2022, setengah tahun lalu. Itu hari sabtu, berbarengan dengan saya memposting tulisan tersebut, telah banyak peristiwa yang terjadi di berbagai penjuru dunia. Misal saja di Ukraina sana tersiar kabar bahwa Militer Ukraina menembak jatuh empat drone pengintai milik Pasukan Rusia yang berkeliaran di atas laut dekat Pelabuhan Odesa. Empat drone Kamikaze Shahed-136 tersebut diproduksi oleh Iran, yang mana, sebelum terjadinya insiden itu pihak Iran membantah tuduhan bahwa mereka memasok drone untuk Rusia. 

Komedian itu, maksudku Presiden Ukrania yakni Zelensky, jengkel. Lewat juru bicaranya -Serhii Nykyforov- ia menyatakan bahwa Iran telah menciderai kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina. Buntut dari kejadian ini membuat renggang hubungan dua negara tersebut dan pemerintah Ukraina segera merespon tindakan tidak bersahabat itu dengan mencabut akreditasi duta besar Iran di negaranya. Kata Kemenlu Ukraina, "Memasok senjata ke Moskow secara langsung bertentangan dengan posisi netralitas, penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina, yang diumumkan secara terbuka oleh pimpinan tertinggi Iran."

Peristiwa lain di tanggal yang sama, terjadi di negara nun jauh di sana, berjarak 12.975 KM dari Ukraina. Saya dengar, seorang perempuan di Australia mengalami nasib serupa ketiban durian beserta duri-duri tajam yang nancep di kepala. Perempuan itu bernama Mbak Manivel, penduduk sipil kota Melbourne. Doi mestinya cuma nerima uang berjumlah 900 sekian ribu hasil konversi crypto yang ditradingkan di sebuah platform trading. Namun siapa sangka, mendadak rekeningnya gendut setelah kemasukan 103 sekian milyar. 

Sehabis menerima rejeki nomplok itu dia tidak tanya dan mikir apa-apa karena saking gembiranya. Milyaran uang itu, selain dihabiskan untuk menyenangkan diri sendiri, mbak Manivel tidak lupa daratan dengan membagikannya ke enam orang circle terdekat. Namun sekali lagi, siapa sangka, tujuh bulan berselang platform trading tadi mengabarinya bahwa mereka salah transfer dan menuntut si mbaknya untuk ngembaliin uang itu. Kalau sudah begini, lalu mau bagaimana?

Peristiwa berikut tadinya kupikir lucu. Tapi setelah mencermatinya, tragedi ini tidak lain bentuk nyata dari "takdir yang ada-ada saja." Lebih kurang 36 jam jika menempuh jalur udara dari kota tempat tinggalnya Mbak Manivel di Melbourne, menuju ke kediaman milik seorang pria bernama Aidan Rowan, di kabupaten Oxfordshire, Inggris Raya. Sekitar setengah sebelas malam waktu setempat, Oxfordshire diguyur hujan deras disertai petir. Mas Rowan di dalam rumahnya lagi selonjoran santai di sofa sambil ngebir dan main PS. 

Mas Rowan mainin Stray, game petualangan besutan developer Blue Twelve Studio yang cukup populer tahun 2022. Game ini mengambil pov seekor kucing liar yang ketika hujan besar disertai petir dia kesasar di sebuah kota bertembok tinggi yang dihuni oleh robot, mesin dan bakteri mutan. Mendapati dirinya berada ditengah kepungan cyborg, kucing ini mesti menjalani petualangan hebat ditemani oleh sebuah drone kecil bernama B-12, demi misi kembali pulang ke permukaan. Kata wikipedia sih begitu.

Lagi asyik-asyik ngerasain petualangan menjadi kucing, terjadi satu insiden yang berlangsung begitu cepat dan nyaris tidak disadari oleh Mas Rowan. 

Semula terdengar begitu kencang suara gelegar petir menyambar. Kemudian, suara retakan - entah bangunan atau apa- terdengar begitu jelas dan dekat dengan telinganya. Sepersekian detik setelahnya tubuhnya mendadak terasa berat untuk sekedar digerakan. Disusul dengan sensasi panas yang perlahan menjalar dan membakar lengan kanannya, sebelum akhirnya Mas Rowan tersungkur dari sofa. Butuh semenit bagi Mas Rowan untuk mencerna dengan sadar di dalam kebingungannya, "barusan itu apa, sialan?"

Itu, beberapa peristiwa yang momentumnya kebetulan -atau tidak?- berbarengan dengan saya memublikasi tulisan terakhir di mahaplung. Kini, setengah tahun itu udah lewat. Saya gak tahu apa Iran sama Ukraina udah baikan, gak tahu mbak Manivel sudah bayar utang salah transfernya atau belum, juga, gak tahu apakah setiap dengar petir, Mas Rowan lebih trataban dari siapapun. Yang saya tahu cuma, nasib mahaplung lagi di ujung tanduk. Ada di tengah antara hidup enggan mati jangan.

Seperti memutuskan kembali menetap di rumah yang lama ditinggal, dengan segala kotor dan berantakan yang kujumpai ketika pintu kebuka, saya mematung diam dan garuk-garuk kepala. Lirik lagu Plastik Band mengalun sebagai soundtrack yang mengiringi kebingungan, "Pejamkan mata dan berfikir // Tak juga dapat dimengerti // harus mulai dari mana?" 

Jelas, saya perlu membenahi kekacauan struktural ini. Jika tidak cepat lambat mahaplung bakal mati karena luput tak terawat. Sebab ancaman terdekat, datang pada april nanti. Tepatnya pertengahan, pemilik kontrakan bakal nagih biaya sewa domain untuk setahun ke depan. Soal domain pastinya penting, karena tanpanya eksistensi mahaplung pastilah tergerus lenyap, gak terdeteksi search engine.

Selain perkara domain, soal lain yang lebih esensial yang agaknya mesti duluan saya benerin adalah distribusi konten. Karena percuma, tiada guna jika cuma eksistensi tanpa dibarengi esensi. Sekarang mahaplung ada, bisa diakses tapi tanpa pembaruan konten di dalamnya, lalu apa nilai jual yang ditawarkan ke pembaca? Atau sebaliknya, saya banyak hasilkan tulisan tetapi wadah untuk publikasinya not respond 404, gak ada yang ngerayain itu sebagai karya!

"Dua-duanya harus jalan!" kuingat kata Pram melalui tokoh bernama Pangemann dengan dua N di belakang. "Yang satu bernama prinsip yang lain bernama penghidupan." lanjutnya. 

Soal eksistensi, yang kubutuhkan sekedar uang, untuk bayar domain dan sedikit upaya teknis untuk menunjangnya. Agaknya itu cukup gampang ditanganin. Soal esensi, saya perlu menelurkan tulisan demi tulisan. Untuk menunjang itu, saya masih perlu belajar lagi untuk nerapin satu jurus bernama : konsistensi. Dan itu sulit sekali, sialan! 

Sekali waktu pernah saya mencobanya, rencananya konsisten secara berkala seminggu sekali merilis cerita berjudul Migren. Niatnya mau niru Pak Oda yang konsisten 25 tahun lebih tiap minggu nulis dan gambar One Piece. Sayang, niatku sebatas niat dan rencanaku berjalan cuma dua pekan. Selebihnya, saya digulung kemalasan berkepanjangan. 

Itu kemarin. Sekarang, ada sedikit sadar yang muncul untuk segera berbenah, membereskan satu-satu kekacauan itu. Meski ya upaya ini gak menjamin kematian mahaplung yang sudah diprediksi itu bisa dicancel. Persetan nanti. Kini yang pasti, saat baris terakhir ini ditulis, earphone di kupingku memutar learn to fly milik dedengkot rock asal Seattle, Foo Fighters. 

"Think i need a devil to help me get things right." begitu sepenggal liriknya.

Post a Comment