Fragmen 02 - Dharma | Harmo



Panjang lebar rumah itu tak lebih dari duabelas kali lima senti. Desain interiornya mengadopsi model minimalis, dengan setiap jengkal ruangan dicat putih total. Tanpa motif apapun sedikitpun. 

Tampak elegan, sekalipun rapuhnya absolut. Rapuh karena, sekali kebanjur hujan, dijamin koyak dan lembek menyerupai bubur. 

Tetapi, itu tak jadi soal karena sangat jarang musibah semacam itu menimpa. Pun seandainya kejadian, rumah itu dilengkapi pelindung plastik transparan yang menjamin  keselamatan keenambelas batang.

***

Setengah tahun sudah Harmo mendekam dalam ruang maha sempit yang serba putih itu. Terkurung dengan pintu tersegel rapat. Harmo tidak bahagia tinggal di sana, tetapi, sedih juga tidak. Sebab ia tak bisa merasa, dan itulah normalnya.

Bahkan seandainya ia tidak normal, bisa merasa sumpek dan berkeinginan terbebas dari jahanam-nya bungkusan, mustahil baginya bisa keluar. 

Percuma saja usaha, mending ngejogrog tak berbuat apa-apa. Itulah sikap mulia, yang semestinya dipraktekkan sebatang rokok.

***

Harmo paham itu. Ia tidak perlu merepotkan diri sendiri dengan usaha yang tak perlu. Cepat lambat ia bakal dislorod keluar dengan sendirinya meninggalkan rumah itu. 

Itu pasti meski nanti. Nanti, jika tiba waktunya menunaikan dharma : terbakar, mati dan berarti.

Posting Komentar

0 Komentar