Migren : Sekarang Kita Gimana? | BAB 02


JIKA BELUM BACA BAB 01, 
SILAKAN KLIK -> "Kasir Kelontong"
*****
.....
(beberapa jam sebelumnya)

Tiga tahun lebih Migren dan Vira pacaran. Selama itu, nyaris semua tempat di kota ini pernah mereka kunjungi. 

Ini malam minggu yang kesekian. Migren bingung mau mengajak vira ke mana lagi.

"Agenda kita malam ini cukup merepotkan, Vir." ucap Migren, setelah motor melaju sekian meter dari rumah Vira.

"Ngapain emang?" tanya Vira. Ia menahan senyumannya.
 
Begitu motor menebas jalan yang ramai, Migren berteriak, "Melawan kemacetan!"
"Hah? Kecamatan?"

"Mau gitu di sana? Nggak ada tempat lain, apa?" Vira bertanya sendiri dalam hati.

"Sial, sia-sia. Tidak terdengar rupanya." Migren menggaruk kepala, tapi kehalang helm.

.....

Sebelum lebih jauh jalan yang mereka tempuh, Migren sempatkan melipir ke warung. "Mau beli sesuatu." ucapnya.

Ia minta vira duduk anteng menunggunya di motor. Tak lama Migren kembali membawa kresek hitam. 

"Yes, setelah tiga tahun, akhirnya..." Vira membatin, senangnya bukan main.

.....

Motor melesat lagi. Ke mana itu, urusan nanti. Malam ini Migren cuma pengin muter-muter bareng Vira, keliling kota. Tanpa tujuan, tanpa maps. 

Mereka sesekali berhenti 120 detik di tiap traffic light. Selagi menanti hijau, mereka disuguhi serangkaian entertain. 

Mulai dari yang cuma bermodalkan botol fanta bekas berisikan delapan butir beras. Sampai pengamen proper dengan sound system portable. 

Migren terhibur, tapi nggak ngasih uang seperak pun. Migren hanya memberi anggukan. Pelan, ritmis, memang sadis.

"Jangan salah paham, Vir. Tadi itu aku nerapin prinsip sama rata sama rasa." ucap Migren begitu hijau. Vira tertawa mendengar ironinya. 

"Bilang aja pelit!" gemes, Vira memukul kepala Migren yang terlindungi helm. Telapaknya, jadi sakit sendiri.

.....

Selama di motor, sesekali Migren pandangi wajah Vira dari kaca spion. Sementara Vira, erat memeluk Migren dari belakang. 

Terbilang romantis. Hanya saja, momen itu dirusak oleh bokong yang panas efek kelamaan duduk di atas jok. 

Tak tahan, Migren menepi riting kiri. 

Motor ia parkirkan mepet trotoar. Duduklah mereka di pinggir jalan, di undakan sebuah halte rusak, yang tak lagi terpakai.

.....

"Nonton kita."
"Hah?" Vira bingung.
"Itu." Migren menunjuk motor mobil lewat. Vira tersenyum, mengelus dada, "huh."

.....

Belum ada hitungan lima detik, Migren beranjak dari duduknya. Ia teringat sesuatu. Langsung saja Migren menuju ke tempat motornya diparkirkan. 

Diambilnya kresek tadi. Duduk kembali dia di samping Vira. Migren membuka kresek itu pelan, seolah seperti doorprize. 

Lalu jembual, dua gelas teh rio beserta sedotannya, muncul mengecewakan. "Yah, kirain anu." batin Vira. 

"Padahal seru juga, sih, kalau kita itu di sini.." Vira menggigit bibirnya. 

.....

"Dipikir-pikir, yang cuma begini ternyata romantis juga, ya." ucap Vira, memekarkan senyum.

Mereka menghabiskan malam duduk di pinggir jalan. Nontonin lalu lalang kendaraan. Ngobrol, sambil nyedot teh rio. 

"Dirasa-rasa, dong!" Migren malah mendebat hal tak penting. Dan tak penting bagi Vira untuk meladeninya. 

Perempuan itu me-lem kepalanya ke bahu Migren. Malam yang sempurna. Yah, malah sangat sempurna jika saja knalpot bobokan nggak mendistraksi obrolan. 

Tiap motor-motor telat pajak itu lewat, Migren selalu sempat untuk mengumpat. 

Tapi bagi Vira, gangguan jalanan justru menambah dosis kemesraan yang janggal.
..........

*****
Di Sebuah Warung

Perempuan muda itu duduk resah dengan kaki menyilang. Dengan hotpants jeans sobek ala grunge style. Dengan kaos putih tanpa lengan bergambar baphomet nam nam nam. Tanpa ragu perlihatkan betapa mulus kulit tubuh yang terawat.

Perpaduan hitam dan pirang rambutnya, ia biarkan terurai panjang. Bebas dari segala ikatan, seperti kehendak jiwanya. 

Tak luput sedikit riasan wajah, juga lipstik pink tergores seolah natural di tepian bibirnya. Auranya sexy dan liar.

Ia selipkan rokok di sela bibir, pejamkan mata saat menarik dan hembuskan asapnya pelan. 

Tangan kanan dengan dua jari mengapit rokok, ia topangkan di atas paha yang lapang. Tatto logo zen di pergelangan nadinya terlihat jelas saat posenya begitu.

00:00 telah lewat. Perempuan tadi berdiri, mencungcek putung rokok ke asbak. Raut wajahnya tampak kesal. 

Berjalan ia menghampiri segerombolan remaja yang juga lagi sama kesalnya. Mereka jenuh, menunggu seseorang, yang nggak sadar sedang ditungguin.

"Bos kalian mana, sih? Kenapa nggak datang-datang?"

"Nggak tahu, Mbak. Dichat ditelpon nggak ada tanggapan." jawab salah seorang remaja gerombolan itu.

"Bilangnya sih jam 11 otw. Tau deh, nyangkut di mana." remaja yang lain menimpali.

"Det, gimana, Det? Ada kabar dari si bos?" perempuan itu menatap Codet, dedengkot gerombolan ini. 

Codet hanya menggeleng.

*****
......
Satu jam lebih Migren dan Vira ngalor-ngidul ngobrol di situ. Alur obrolan yang random dan rebel. Tanpa batasan tematik. Tanpa bahasan spesifik. Mengalir saja, begitu bebasnya.

Bagi Vira, obrolan malam ini sungguh menggembirakan. Setidaknya dapat meringankan beban pikiran. Sekalian, mengempeskan benjolan perasaan. 

Vira bisa sejenak lupa, sama kegundahan yang tak semestinya. Meski, ini hanya berlangsung sebentar. Hanya sebentar.

Karena rupanya bak penampungannya sudah kepenuhan. Nggak mampu lagi mewadahi  lebih banyak kekhawatiran yang selama ini coba ditahan, sendirian.

Vira perlu bak yang cukup jembar untuk menuangkan keresahan. Dan ia tahu, lelaki yang bahunya ia pinjam, dialah orang paling tepat. 

Siapa lagi kalau bukan Migren yang siap jadi penampung keluh kesah? 

Lagian, keresahannya berkaitan dengan Migren. Jadi memang dia satu-satunya yang harus mendengarkan. 

"Sayang."
"Aku udah lama mengkhawatirkan hubungan kita..." kalimatnya, membuka jalan bagi deep talk. 

.....

Sudah jalan tiga tahun, memang, hubungan mereka serupa jalan tol. Bebas hambatan. Nggak pernah ada pertengkaran hebat karena satu dari dua menyeleweng. 

Jadi Migren tidak berfikir kalimatnya Vira barusan untuk memperkarakan kelakuannya.

Sementara Vira, meski tahu hubungan ini adem ayem, entah mengapa cemas di hati nggak ada matinya. 

Sebab kini di kepalanya muncul bayang-bayang menakutkan. Yang meski belum kebukti nyata, tapi firasat mengatakan itu berbahaya!

"Kan kamu nerusin kuliah di ibu kota.." 
"Sementara aku tetap di sini."
"Kita bakal berjauhan." Vira pelan-pelan menjelaskan kekhawatiran.

"Iya, terus?" Migren menanggapi sekenanya, tapi serius.

Bayangan itu, semakin coba Vira singkirkan, malah terus menebar terornya. Terlebih hanya tinggal menghitung hari, tanggal keberangkatan Migren ke ibu kota.

"Sekarang kita gimana?"
"Gimana, gimana, sih?" Migren malah nanya balik. Mendengar begitu responnya, Vira jadi kesal. 

Sebelum kekesalan itu jadi bola liar yang merepotkan, segera Migren ucapkan kalimat yang ingin didengar Vira.

"Ya tentu kita tetap bersama,"
"Sejauh apapun jarak." pungkasnya, yakin.

...........
*****
Situasi Di Warung

Codet tuangkan botol ke dalam gelas,  menenggaknya tandas. Perempuan itu berjalan menghampirinya, duduk di sebelahnya. 

Sekali lagi Codet menuangkan. Kali ini untuk itu perempuan yang tahu-tahu sudah ngelendot saja di bahunya.

"Semaunya sendiri, dia. Migren Brengsek!" umpatnya. Codet tertawa mendengar perempuan itu menggerutu.

"Sudah, lah. Tunggu saja ketua kita sambil nikmati minuman, oke!" 

"Kita kan lagi pesta." ucap Codet, menenangkan semua orang yang sudah tinggi di warung ini.

Halus dan perlahan, Codet singkirkan kepala perempuan itu dari bahunya. Ia lalu berdiri di mulut pintu, nyalakan rokok dan berguman sendiri. 

"Orang suka jadi nggak asik kalau berurusan sama cinta."
"Betul begitu, Mbak Sen?"

Dengan gontai perempuan itu menuju pintu, mendadak ia lunglai, jatuh ke pelukan Codet. 

"Thats right! Karena itu, kau tahu, det, Aku nggak sudi jatuh cinta." 

Codet menyeringai. Membopong tubuh Mbak Sen, dan membaringkan perempuan teler itu ke sofa yang growak.

*****
.....
Ucapan Migren, memang nggak pantas untuk Vira ragukan. Namun lagi-lagi, bayangan itu serupa spoiler di kepala Vira.

Spoiler itu menspil sedikit scene-scene yang plot twist, yang bakal melancarkan efek kejut di perasaannya.

"Yakin kamu bisa bertahan?" berat rasanya Vira mengucapkan kalimat itu.

"Kenapa kamu tiba-tiba meragukan ku?" tanpa ragu, Migren protes. 

Karena selama tiga tahun ini, Migren nggak pernah melirik perempuan lain. Jangankan melirik, ngeh ada perempuan selain Vira saja tidak.

"Tapi kita berhadapan dengan situasi yang beda, Gren." 

Kekhawatirannya, bermula dari pemikirannya sendiri. Vira beranggapan, tiga tahun hubungan ini langgeng, itu semata-mata karena mereka dikarunia privilege.

Karena mereka satu sekolah. Enam kali dalam seminggu pasti ketemu. Ditambah, tiap malam minggu, mereka selalu bersama habiskan waktu.

Tapi hari-hari ke depan, situasinya nggak sama lagi. Mereka hanya berkomunikasi melalui den den mushi (telepon). 

Vira ragu Migren sanggup menjalani hubungan semacam itu, untuk bertahun-tahun lamanya.

"Juga di sana kamu bakal kenal si anu, si ani, si inu."

"Nggak ada jaminan kamu bertahan, Gren."

"Dan itu berlaku juga sebaliknya untuk kamu!" Kesal, Migren membalikkan ucapan itu kembali ke Vira.

"Ah, sial!" dalam batin, Migren mengumpati dirinya sendiri. Karena sadar, ucapannya barusan, sama aja bunuh diri. 

Biarpun tahu ucapannya nggak salah, tapi Migren sadar satu hal. Perempuan, punya kartu sakti yang namanya play victim. 

Saat kartu itu dimainkan, kecil kemungkinan Migren memenangkan argumentasi. Sebenar apapun.

Dan sebelum sempat jurus itu dipakai Vira untuk menyikat habis dirinya, Migren putuskan untuk mengamini kekhawatiran pacarnya. 

"Vir..."
"Kita sama-sama tahu, kita nggak ada yang tahu gimana ke depannya." Migren sangat hati-hati memilah kata.

"Tapi aku yakin, hubungan kita bakalan baik-baik saja." 

"Percayalah." Migren memeluk Vira. 

Dibanding harus menjanjikan ini dan itu dengan ucapan, pelukan lebih dari cukup mengurai benang kusut kecemasan.

.....

"Woi, jalanan umum, mas, mbak." setelah berteriak, pengendara motor itu melesat begitu saja. 

Teriakan pengendara sialan itu membuktikan kredo lama tentang cinta 'dunia serasa milik berdua', itu keliru. 

Mustahil dunia dimonopoli oleh dua orang yang lagi dimabuk asmara. 

"Huh, sialan! Ada saja gangguan untuk momen yang mustinya seromantis kayak di film-film." Vira menjilat ludahnya sendiri.

"Kami cuma pelukan doang, brengsek!" Migren balik berteriak ke pengendara yang sudah lenyap dari pandangan.

-selesai

-BAB 03 RILIS 1 OKTOBER 2022, 18.30 WIB-
.....
BAGIKAN TULISAN INI JIKA MENURUTMU MENARIK!


Posting Komentar

0 Komentar