Kenapa Cicak Matinya Selalu Nggak Wajar?



Dulu guru ngajiku pernah bilang, katanya, kalau kita ngebunuh cicak, itu dapet pahala. Diilhami perkataan tersebut, sejak saat itu malam sehabis pengajian menjadi ajang perburuan liar.

Saya bersama kawan sepengajian berkeliling menyatroni rumah tiap warga. Menyisir gang sempit, bersenjatakan sendal jepit. 

Sendal ini nantinya digunakan untuk menggaplok cicak, yang kujamin sekali geplekan, cicak apes itu modar dengan isi perut muncrat ke sini sana.

Dipikir-pikir memang kejam juga. Tapi, dulu, kami ngelakuin itu dengan niat tulus mencari pahala. Sama sekali tidak kepikiran kalau tindakan ini penyiksaan yang mengerikan.

Karena sebagai anak kecil yang digembleng untuk taat beragama, jelas pantang bagi saya untuk membantah omongan guru ngaji. 

Jangankan membantah, sekedar kepikiran untuk membantah saja nggak ada. Perkataan guru ngaji, bagiku saat itu pasti jaminan betul. Mana mungkin beliau ngibul.

Guru ngajiku kayaknya waktu itu tidak secara langsung menyuruh untuk bunuh cicak. Tapi beliau menceritakan sebuah riwayat yang jadi alasan mengapa cicak harus dibunuh.

Katanya waktu Nabi Ibrahim dibakar, hewan cicak meniup-niup api tersebut supaya kobarannya membesar.

Setelah dengar cerita itu, entah beliau yang menganjurkan atau kami sendiri yang asal bikin kesimpulan, tiba-tiba 'bunuh cicak dapat pahala' nempel kuat di pikiran kami saat anak-anak.

Dan bertahun-tahun kemudian baru saya tahu kalau pemahamanku waktu kecil itu keliru. Ternyata nggak sembarang cicak boleh dibunuh. 

Ada satu spesies cicak tertentu yang secara spesifik menjadi 'tokoh antagonis' dalam riwayat tadi. Bukan cicak rumah yang diam-diam merayap hap itu.

Baru sekarang saya sadar. Ternyata dulu saya sudah berlaku kejam, membunuh cicak-cicak tak berdosa, yang lagi konsentrasi cari makan di tembok-tembok rumah.

Tapi ya sudah terlanjur. Kenangan jaman kecil yang nggak bakal dilakuin lagi, dengan atau tanpa niatan cari pahala. Lagian, nasib cicak-cicak yang kuburu waktu itu, tentu saja mati mengenaskan. 

Bahkan sesudah mati, kami dengan entengnya membiarkan mayat mereka tergeletak di pelataran.

Entah setelahnya bangkai cicak itu mengering atau digondol kucing, sepertinya saat itu kami nggak begitu peduli. Beres dapet pahala ya pulang.

Sebetulnya kenangan berburu cicak ini sudah lama nggak muncul dalam ingatan. Tapi ketika saya sedang ngobrol bareng teman, melihat sejumlah cicak di atap, mendadak temanku nyeletuk, "Cicak matinya kalau nggak kejepit pintu ya keinjek."

Mendengar perkataannya saya sedikit tersinggung. "Sialan, mengapa jokes sebagus itu nggak muncul dari mulutku!" Ingin sekali saya putar balik waktu dan rebut kembali momen supaya sayalah yang pertama kali ngomong kayak gitu. Ah!

Posting Komentar

0 Komentar