Rekognisi dan Rekreasi



Mahaplung.com - Ada satu kutipan dari bukunya Pram yang membekas dalam ingatanku. Detail persisnya saya lupa. Tapi lebih kurang begini kalimatnya, "Dua-duanya harus hidup. Yang satu bernama Prinsip, yang lain bernama penghidupan."

Kalimat itu ada dalam novel Rumah Kaca, cerita penutup tetralogi Pulau Buru. Rumah Kaca mengambil sudut penceritaan yang berbeda dari tiga buku pendahulunya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah).

Narator yang bercerita bukan Minke, melainkan seorang komisaris polisi kompeni Belanda bernama Jacques Pangemanann, dengan dua N di belakang. Beliau berdarah blasteran Belanda Minasaha. 

Kariernya di kepolisian meroket berkat keberhasilannya menangani komplotan Robin Hood Betawi, geng si Pitung. Setelahnya beliau naik pangkat. Hingga ujungnya dikasih job khusus, agen elit intelejen.

Pangemanann ditugaskan memata-matai Minke, seorang aktivis pergerakan nasional yang meresahkan kolonial. Pemerintah terlalu fomo dengan kehadiran Minke yang punya potensi memercik api perlawanan umat. 

Karenanya, seorang Pangemanann dengan reputasi mentereng di kepolisian kemudian ditugaskan jadi intel untuk ngawasin Minke.

Kerja-kerja pangemanann serupa alat detektor. Memindai semua aspek di kehidupannya Minke. Mendeteksi, adakah pergerakan Minke yang bakal mengancam kedaulatan pemerintahan.

Jika iya, jika ada sedikit saja potensi bahaya yang terdeteksi, alarmnya otomatis berbunyi. Lalu tindakan antisipasi segera diambil demi mengamankan kekuasaan.

Yang dilacak Pangemanann tidak sebatas informasi terkait propaganda perlawanan yang dilakukan Minke lewat jalur intelektual. Lebih jauh dari itu, Pangemanann bahkan menelanjangi kehidupan privatnya. 

Pangemanann layak dinobatkan sebagai stalker ulung. Mengintai gerak-gerik Minke 7/24 dari dalam kantornya, rumah kacanya.

Boleh dibilang, job desk yang dilakukan Pangemanann, itu kotor tapi bersih. Maksudnya, bisa saja Pangemanann seharian cuma duduk diam sambil baca-baca informasi tentang Minke di dalam kantornya. 

Tapi selesai dia membaca, lalu analisa, apa yang nanti diputuskan Pangemanann, berdampak pada hidup matinya Minke. Apakah Minke dibiarkan hidup? Atau ditangkap diasingkan? Atau dieksekusi sekalian? 

Soal itu, pemerintah mempercayakan Pangemanann untuk ambil keputusan final. Dan yang Pangemanann pilih, berujung pada mengasingkan Minke ke pulau Maluku.

Yang menarik bagiku, dalam cerita ini, Pangemanann mengalami pergolakan batin saat menjalani ini pekerjaan.

Sebagai kaki tangan pemerintah, yaa dia harus 'jahat', dalam tanda kutip. Dia perlu secepatnya hentikan Minke sebelum api pemberontakannya terlanjur besar berkobar dan membakar habis kolonial.

Orang bernama Minke jelas membahayakan bos besar yang ngasih duit gaji ke Pangemanann. Tentu karena punya tanggungan, meski setengah terpaksa, Pangemanann tetap profesional ngelakuin itu pekerjaan.

Kebutuhan dasar mendiktenya untuk berkiblat pada pondasi urusan perut. Itu semua dia lakukan demi pertahankan kenyamanan serta kelayakan hidup. 

Meski batinnya menjerit. Karena setelah dia setiap hari disibukan dengan membaca semua informasi soal Minke, Pangemanann tidak bisa untuk tidak kagum pada sosoknya. 

Baginya pribadi, Minke adalah manusia merdeka yang padanya Pangemanann sudi menaruh hormat setinggi-tingginya. Orang seperti Minke tidak sepantasnya diperlakukan begini buruk olehnya. 

Tapi masalahnya, kalau Pangemanann nggak gitu, dia nggak makan. Bahkan mungkin saja dia dieksekusi karena dianggap pembelot pemerintahan. 

Ngelakuin itu, ya tentu hidupnya bakal aman berkecukupan. Tapi dalam batin dalam pahamnya, Pangemanann menanggung kesakitan. Dilematis!

Dari situ saya jadi mikir, apa memang prinsip dan penghidupan nggak bisa ya satu paket? 

Dan, mendadak saya keingat lirik lagunya Iwan Fals yang berjudul Jangan Bicara.

Liriknya, "Jangan bicara soal idealisme, Mari bicara berapa banyak uang Di kantong kita. Atau berapa dahsyatnya ancaman yang membuat kita terpaksa onani."

Begini, mungkin saja, kalau beruntung, kita dapat 'paketan' itu dalam hidup. Di dalam satu pekerjaan, bisa senang-senang sekaligus tidak khawatirkan soal perut yang kelaparan. Dua-duanya sejalan, tanpa ada bentrokan paham.

Tapi yaa, sayangnya, hidup sering tidak ngasih keduanya dalam satu paket. Mungkin memang harus dibikin ruang terpisah jika hidup menghendaki demikian. 

Satu ruang khusus untuk prinsip yang orientasinya kegembiraan. Sisanya untuk keperluan logistik domestik, perpanjangan nafas penghidupan.

Seperti halnya mister Pangemanann, kompleksnya hidup membuat dia harus nabrak prinsip. Meski begitu, menurutku dia masih ada upaya untuk pegang erat sisa-sisa prinsipnya yang nyaris lenyap. Dia punya cara menebus 'dosa'.

Sebagai intel, dia jelas tahu semua detail hidupnya Minke. Dari pemberontakan sampai urusan ranjang, semua terekam dalam pengamatannya. 

Pangemanann bahkan memegang tiga buku catatan pribadinya Minke. Tiga buku itu mencatat perjalanan hidup Minke, dengan masing-masing judulnya : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah.

Tapi, ketiga buku itu tidak dia serahkan ke pemerintahan. Dia simpan untuk dibaca sendiri. Lewat membaca tiga buku catatan pribadi inilah, Pangemanann menaruh kagum dan hormat pada Minke.

Tidak berhenti di situ, Pangemanann juga menulis pengalaman pribadinya selama jadi intel, memata-matai pergerakan Minke. Tulisannya sendiri, dia kasih judul Rumah Kaca. 

Itu menjadi pelengkap soal apa yang tidak tercatat dalam ketiga jurnal pribadinya Minke.

Setelah Minke wafat, keempat buku itu dia berikan kepada Nyai Ontosoroh, mertua pertamanya Minke. Dan saya beranggapan, mungkin hanya itu satu-satunya cara yang bisa dilakukan Pangemanann untuk menebus dosanya.

Kesimpulanku, yaa memang, hidup menuntut keharusan untuk punya ruang rekognisi. Tapi penting menjaga kewarasan dengan ciptakan ruang privat untuk rekreasi.

Posting Komentar

0 Komentar