Sesampainya di rumah, dia merebahkan diri dalam kamar. Seingatnya dulu di dinding kamar itu terpanjang beberapa poster berukuran besar. Poster logo slank versi anak mami, serta satunya poster personil The Beatles. 

Poster itu menandai era dia jatuh cinta dengan rock n roll. Kalau mundur beberapa tahun ke belakang, pas kecil, jauh sebelum kenal hingar bingar musik rock, poster yang dipajang di kamarnya bergambar ST-12 dan Jorge Lorenzo. 

Setelah dia remaja, terjadi revolusi kebudayaan. Selera musiknya bergeser dari pop melayu menuju rock n roll. Barangkali, poster-poster yang dulu nempel di tembok kamarnya, itu manifesto revolusinya.

Sekarang sih tembok itu bersih dari poster. Bukan karena hijrah terus nggak dengerin musik. Hanya saja sudah dicopot semua. Tapi justru tembok itu malah kelihatan lebih kotor dibanding sebelumnya. 

Ini karena banyak coretan nggak jelas di sini sana. Dia mencorat-coret tembok pake arang, bikin grafiti nama aliasnya. "Vandalisme ruang privat," katanya mengenang.

Dia beralih memandang sudut lain kamarnya. Di pinggir ranjang, mepet tembok persis, di situ ada sebuah kursi yang memangku gitar akustik kopong berwarna biru ngejreng. Gitar itu tergeletak sekian tahun, lama nggak dibelai.

Warna biru gitarnya tampak memaklumi debu-debu kurang ajar yang kadung menebal. Melihatnya, pikirannya mengembara. Mengenang dan membaca ulang sejarah tak tertulis dari gitar yang nlangsani.

Dulu, sengaja dia beli gitar yang biru begitu, karena diilhami kehendak imitasi. Kali pertama bertemu itu gitar di toko alat musik, mendadak mengingatkannya pada fender biru ikonik milik Kurt Cobain dalam Klip Smell Like Teen Spirit.

Tentu dia paham kalau gitar tersebut nggak betulan mirip kayak fender-nya Kurt. Sekedar sama warnanya saja. Soal kualitas, nggak apple to apple untuk disamain. Meski begitu, baginya sudah cukup alasan untuk bawa pulang gitar merk antah berantah itu. 

"Gitar ini nggak berkualitas? Saya nggak peduli. Karena gitar ini punya rasa yang nggak bisa kuabaikan." Mungkin gitu jika perasaannya dibahasakan.

Body gitar itu nyaris penuh dengan tempelan stiker random yang terdisplay secara sporadis. Persetubuhan warna biru, debu dan semua stiker itu, membuat wujud fisik gitarnya sangat ndak estetik.

Mengamati stiker-stiker yang ditempelnya, membuatnya tersadar akan sesuatu. Setelah dipikir-pikir, ternyata semua stiker itu punya keterkaitan dengan perjalanan hidupnya. Stiker itu sudah seperti artefak saja rupanya. 

Stiker pertama terletak di tepian atas area senar bass. Warna putih melatarbelakangi tipografi bertuliskan "vandalism : beautiful as a rock in a cops face." Nempelin stiker itu bukan berarti dia benci aparat. 

Meski memang jika dibaca tetep kayak seorang anarko, tapi stiker itu sebetulnya cuma replika semata. Seperti stiker di gitarnya Kurt Cobain yang lain.

Lalu di bawah Bridge gitar, sebuah stiker redesain logo kedai kopi starbucks. Gambar ini dia comot dari google. Begini penampakannya : 

Siluet mbakyu siren dilengserkan dan diganti wajahnya Kurt Cobain. Kemudian tulisan "Seattle Sounds" melingkar di atas dan bawah siluet itu dengan begitu anggun. 

Yah, Kurt D. Cobain, rockstar itu memang dikagumi olehnya. Setelah slank nggak lagi mengisi playlistnya, dia lari ke skena Grunge. Ketemu Nirvana dan jatuh cinta dengan musiknya. 

Dia nggak banyak ngerti makna lagunya. Tapi tiap mendengarkan, jiwanya beresonansi dengan distorsi kasar ala Nirvana dan teriakan Kurt Cobain yang terdengar serupa erangan leher yang lagi digorok pisau.

Jeritan Kurt Cobain yang sarat akan rasa sakit sialnya selalu bikin hatinya tentram. Paradoks memang. Bisa-bisanya ketenangan didapat dari mendengar musik yang berisik. 

"Kalau hidupku mencapai taraf maksimal kemakmuran, pasti aku berziarah ke Seattle sana." impiannya.

Post a Comment