Serangga berukuran lebih jumbo dibanding sebongkah biji sawo, mengepakan sayapnya. Ia terbang tapi tak sempurna. Itu terlihat dari bagaimana enam kakinya memaksa tetap menopang dinding bercat abu-abu suram. Ia takut kepleset. Terjatuh ke lantai jelas mengerikan baginya.
Hewan itu tampak ragu melanjutkan apa yang sedang dilakukan. Sebab perilakunya ini tergolong dosa besar. Sejenis larangan yang bila dilanggar, mendatangkan karma buruk sebagai ganjaran dari dosa yang ia perbuat. Tahu betul, dia. Cepat atau lambat, dewa kematian bakal datang menjemputnya.
Lalu, dewa itu tak segan mencabut nyawanya, setelah sebelumnya ia disiksa habis-habisan. Tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Demi membayangkan resiko dari dosa besar ini, ketakutannya naik nyaris menembus tenggorokan. Coro itu merinding.
******
Dulu, bangsa kecoa punya tradisi unik, yang tiap diadakan, nyaris selalu megah serupa perhelatan sebuah festival. Tradisi ini bertujuan melepas seekor kecoa yang beranjak dewasa, mempersilakannya menjajal pake sayap. Kecoa baru gede dibebaskan untuk terbang jauh ninggalin distrik kelahirannya, menjadi sang penjelajah kegelapan.
Seluruh umat kecoa wajib mengantar kecoa baru gede itu dengan mengadakan tradisi pelepasan ini. Tradisi tersebut hadir untuk mensakralkan aturan konservatif spesies kecoa, yang mengatakan bahwa 'yang boleh pake sayap, hanyalah kecoa dewasa.'
Makanya, dirasa penting bagi umat kecoa untuk melangsungkan tradisi dengan skala besar, selayaknya festival. Tapi, itu jaman dulu. Sekarang tradisi ini disegel, dilarang. Dihapus dari peradaban bangsa kecoa yang agung. Bukan tanpa alasan tradisi itu dihilangkan. Karena pernah pada satu masa, perayaan itu tradisi, berujung jadi malapetaka tragedi.
Dan semenjak peristiwa ngeri itu, tradisi melepas seekor kecoa baru gede, dilarang keras di sini. Pun aturan soal penggunaan sayap, makin ketat dan dipersulit. Semua demi kebaikan dan keselamatan umat kecoa.
Amandemen undang-undang diwartakan, "boleh pake sayap, hanya dalam situasi genting atau darurat. Selain dari pada itu, terbang adalah dosa. Bagi para pelanggar aturan, mati ditanggung sendiri."
******
Dia masih kecil ketika tragedi itu terjadi. Masih jelas teringat, dengan mata telanjang, ia saksikan sendiri bagaimana seekor kecoa tetangganya nyaris meregang nyawa lantaran pake sayap, saat melangsungkan tradisi itu. Peristiwa naas yang dialami tetangganya, awet tersimpan di kepala. Dikonversi jadi partikel trauma.
Tiap kali ia mengingat ulang itu kejadian, mendadak kepalanya terasa pusing tak karuan. Lalu, ia tetiba berguling-guling, dan sesekali menggigit kaki depannya sendiri. Tersiksa ia karena ingatan itu. Ia coba singkirkan ketakutannya, ketika hendak melanggar dosa. Tapi sial. Ingatan itu, muncul lagi di pikiran. Peristiwa itu, tragedi tradisi, begini kisah utuhnya..
******
Hari yang indah, langitnya biru cerah.. Itu, lirik lagunya NTRL.
Pagi itu, sekitar pukul sepuluh, para kecoa mulai berkerumun di sebuah alun-alun, yang oleh manusia dikenal sebagai dapur. Mereka, masyarakat sipil kecoa, tak sabar menanti bintang utama festival ini memunculkan diri. Ini hari diadakan perayaan seremonial menandai kedewasaan seekor kecoa.
Tiap festival ini berlangsung, mereka antusias dan terlihat begitu gembira. Sebab, bagi tetua kecoa, melepas KBG alias kecoa baru gede untuk terbang dan bebas, itu sama aja seperti menaruh harapan baru bagi masa depan bangsa ini, di kaki-sayap para kbg tersebut. Masa depan yang, semoga, membuat maju peradaban bangsa kecoa.
Sementara itu, bagi kecoa anak-anak, festival ini selalu membuat mereka termotivasi. Demi melihat kakak-kakak kecoa itu beraksi dan ditonton banyak kecoa, bikin mereka ingin cepat-cepat jadi dewasa. Biar bisa ngerasain sensasi ditepuk-tanganin ribuan ekor kecoa. Pastilah menyenangkan rasanya.
Dan sekarang, salah seekor kecoa baru gede itu sudah siap nampilin aksi terbaiknya pagi ini. Kemunculannya mendapat sambutan hangat berupa riuhnya sorak-sorai dan tepuk tangan kerumunan. Wuuuuwww! Sungguh, tiada hal lain yang lebih membuatnya bangga selain dipuja-puji begini.
Ia memanjat, naik ke sebuah mimbar, yang, lagi, oleh manusia dikenal sebagai tabung gas. Dengan percaya diri ia berdiri di situ. Sedikit pemanasan, ia kepak-kepakan sayap. Sejenak kerumunan di bawah tundukan kepala, hening. Mereka semua merapal doa-doa untuk keselamatan dan hal baik lain bagi masa depan bangsa kecoa. Usai berdoa, perlahan tapi pasti, kecoa baru gede ini naikan kaki-kakinya, melepas cengkraman dari tabung gas.
Dua sayap yang sudah dikepakan, coba ia seimbangkan sembari mulai melambung terbang. Semula rendah, makin lama makin meninggi. Ciptakan jarak antara dirinya dengan tabung gas yang tadi ia pijak. Tak butuh waktu lama baginya untuk mencapai ketinggian normal penerbangan.
Kini dapat ia saksikan dari atas, para kerumunan yang masih sibuk ngasih tepuk tangan khusus hanya untuk dirinya. Jelas ia bangga. Tapi entah mengapa, ia nampak gelisah di atas sana. "Kayak ada yang kurang," ia berguman.
"Apa aku perlu ngelakuin satu atraksi tertentu, ya?" Dia lagi mikir, kalau cuma terbang normal begini, apa bedanya dia dengan generasi pendahulu? Nggak ada keren-kerennya! "Aku musti nampilin sesuatu yang luar biasa. Yang bakal bikin mereka terkagum-kagum." batinnya.
Hasrat untuk tampil memukau membuatnya bisa mikir cepat untuk temukan faktor A, apa. "Ah, itu dia," ucapnya, merasa tercerahkan. Si kecoa baru gede, saat itu juga langsung eksekusi ide-ide yang muncul di kepala. Ia menambah kecepatan terbang. Kerumunan yang ada di bawah, tercengang mendapati aksi yang dilakukan oleh kbg tersebut.
"Loh, loh, loh. Dia ngapain? Ngapain ngelakuin kayak gitu." Ucap salah seekor kerumunan.
Si kecoa baru gede masih merasa kurang puas dengan aksinya sendiri. "Kalau cuma nambah kecepatan, itu sih standar." Sekarang, dia puter kepalanya. Tiga ratus enam puluh derajat. Nengok ke belakang. Maksudnya, seolah dia ingin nunjukin ke mereka bahwa "Aku loh, bisa terbang stabil dan keren, sekalipun nggak lihat ke depan."
Dia yakin, belum ada seekor pun yang ngelakuin aksi keren ini sebelumnya. Baru dia, dan satu-satunya. Teriakan di bawah rupanya makin kencang. Meski si kecoa baru gede nggak bisa mendengar dengan jelas teriakannya. Hanya saja, ia menafsirkan teriakan mereka sebagai pujian.
Seolah ia dengar mereka bilang, "Wuuu!! keren sekali, kau. Memang, yah, kau itu, generasi muda yang beda dan berani menantang bahaya. Luar biasah!!!." Padahal, aslinya nggak gitu. Mereka yang di bawah, berteriak memaki, "hei, lihat ke depan dong, tolol! Bahaya. Nanti nabrak baru tahu rasa, blok!"
Tapi, yaa, namanya juga nggak denger. Namanya juga kecoa baru gede. Memang, fasenya mereka itu lagi gampang terjangkit sebuah penyakit : merasa keren padahal medioker. Di atas ketinggian, masih dengan aksi yang menurutnya luar biasa, perasaan si kecoa baru gede mengembang, berbunga-bunga.
Tapi, nasib yang menanti di depan, tak pernah ia duga-duga sebelumnya. Sepertinya takdir menghendaki sesuatu buruk terjadi.
Memang, aksinya mungkin keren, baginya. Tapi, kerennya cuma keren di kepala. Di kenyataan engga. Sebab, ujung dari aksinya, membuat kecoa medioker itu harus nanggung nasib sial. Tak hanya itu, aksi tololnya ini, berimbas pada bangsa kecoa secara keseluruhan.
"Aksi tolol yang mengubah wajah peradaban bangsa kecoa ke arah kemunduran." Begitu, komentar Komandan Militan Muda-Mudi Kecoa Progresif, ketika ditanya soal malapetaka tragedi tradisi masa lampau, dimuat di surat kabar haluan kiri.
******
Posting Komentar