"Sekali ujung rokok dibakar, baranya pantang padam sebelum takdir menghendakinya jadi tegesan".

Kalimat di atas, secara random keluar dari lisanku, ketika lagi ngelamun. Bukan ngelamun jorok, tentunya. Bukan ngelamun karena resah, pusing mikirin hidup. Bukan juga karena pikiran lagi kosong. Tapi, ini melamun yang disengaja. Melamun ini, adalah bagian dari serangkaian pekerjaan. Ya mirip-mirip kayak intel yang nyamar jualan bakso.

Sambil melamun sambil ngamatin pola hembusan asap rokok yang kubakar. Menarik saja bagiku melihat gimana asap-asap itu naik ke atas. Mereka kadang geraknya cepat, tapi sesekali melambat. Semula, asap-asap itu menyatu padat. Makin tinggi terbangnya, mereka mulai mencar. Agak sedikit nggak beraturan. Ketika mencapai ketinggian entah berapa cm, mereka, hilang. 

Nggak tahu ke mana perginya. Mungkin dimakan angin. Atau, mungkin nempel ke inang yang dihinggapinya. Entah. Sejalan dengan asap yang menghilang, aktivitas melamun ini kusudahi. Kali ini, hasil temuan dari melamun yang sebentar, cuma dapat sedikit bahan. Meski sedikit nggak jadi masalah. Simpan saja dulu. Barangkali besok butuh dan perlu. 

***

Tulisan kemarin, secara garis besar meng-highlight soal pecandu rokok yang benci sama adiksinya. Dia benci tapi belum sudi mengakhiri. Semakin kuat keinginan memutus kontrak kuchiyose no jutsu dengan rokok, makin dia merasa terpojok. Karena seperti yang kita tahu, memutus kontrak kuchiyose dengan rokok nggak bisa dilakuin semua orang. Hanya segelintir yang benar-benar berhasil. Sisanya, kebanyakan kontraknya baru beneran dihentikan jika perokoknya meninggal. 

Perokok yang kepengin berhenti merokok seringnya suka mengamini perasaan yang mengatakan, "Nggak bisa aku kalau nggak ngerokok". Ya ini mirip kayak orang-orang yang pernah ngisi hidupmu dulu, yang mengatakan, "aku nggak bisa hidup tanpamu, sayang". Padahal mereka sekarang masih hidup, sialan!

Mungkin, perokok sulit menghentikan kebiasaan merokok, karena pikirannya sudah terprogram begitu. Katanya sih, pikiran kita, itu hobinya nguping obrolan kita dengan diri sendiri di dalam hati. Jadi, apa yang trending topik di perasaan, bakal dijadiin acuan untuk menjalankan program tertentu di pikiran. 

Cara kerjanya macam alogritma. Sebabnya perokok bilang dalam perasaan kalau dia nggak bisa nggak merokok. Maka, rekomendasi yang muncul teratas di pikiran adalah hal-hal yang punya relevansi dan sejalan dengan kata hati. Kalau menurut lirik lagunya Green Day yang berjudul Basket Case, "Sometimes my mind plays tricks on me". Begitu. 

Padahal, kenyataannya nggak gitu. Dengan atau tanpa merokok, dia ya masih dia yang sama seperti hari biasanya. Tapi memang musti dimaklumi sih jika ada perokok yang sudah coba ikhtiar berhenti merokok, namun belum kesampaian. Karena seperti yang kita tahu, cara-cara revolusioner agaknya kurang efektif untuk mewujudkan perubahan. 

Iya, betul. Memang dengan revolusi, perubahan bisa cepet terealisasi. Tapi kan selalu saja ada pro dan kontra. Kalau revolusi terlalu sulit untuk sekarang, ya nggak ada salahnya memilih evolusi. Pelan, pelan, meski belum tentu pasti. Lagian kan kita manusia yang hidup sekarang, itu hasil evolusi sosial budaya yang dilakukan secara lambat dan perlahan-lahan, dan tanpa disadari sudah berubah jadi begini.

Kalau konteksnya perubahan kebiasaan seorang pecandu, saya jadi ingat ucapannya Pendeta Yerry, "kalau pecandu tidak menemukan yang lebih enak sebagai pengganti, sulit untuk berhenti". Jadi, harus ketemu dulu sesuatu yang adiksinya jauh lebih kuat dari rokok. Apa itu? Misal, cinta. Sialan, kok manuvernya ke situ!

Tapi ini betulan serius. Kalau nggak percaya, coba kamu tengok sekelilingmu. Biasanya, seorang perokok akan mengurungkan niatnya untuk merokok, kalau dia lagi bareng seseorang yang dicintainya. Atau, sekalipun masih merokok pas lagi bareng, tentunya, dia akan terlebih dahulu minta izin, "boleh nggak saya merokok?".

Kalau nggak dibolehin, dia nerimo ing pandum. Tanpa kepikiran mau adu argumen seperti yang biasanya dia lakukan kalau lagi debat sama kawan-kawannya yang anti rokok. Dan sekalipun dibolehin, pasti si perokok tetep ada sedikit rasa nggak nyaman. Dia merokok sambil mikir dan sibuk cari cara biar asapnya nggak kehirup orang yang dicinta. 

Sekali saja perokok mendeteksi gelagat nggak nyaman dari orang tercinta karena asap rokoknya, dia bakal inisiatif langsung menggilas putung rokok tersebut. Meski batangnya masih begitu panjang dan baru satu dua tiga kali hisapan. Rela dia nggak ngerokok, bahkan seharian, kalau lagi bareng yang tercinta.

Kenapa bisa gitu? Karena, makanannya perasaan, itu cinta. Ibaratnya, rokok itu cuma mie instan. Sedangkan cinta, itu nasi. Kalau sudah ketemu nasi ngapain masih makan mie? Kan begitu...

****

"Dari tadi nulis panjang lebar tapi mana kaitannya sama judul, sat?!". Oh, maaf. Maaf masih suka melebar ke mana-mana kalau lagi nge-fly dalam tulisan sendiri :)

Ngomongin rokok, jelas nggak bisa dipisahin sama korek api. Ya tahu sendiri, rokok tanpa korek, cuma jadi tembakau digulung kertas doang. Kehilangan sense of dangerous-nya. Tapi, agaknya hubungan rokok sama korek itu simbiosis komensalisme. Soalnya korek api masih bisa berdikari, dengan atau tanpa rokok. Dia nggak kehilangan fungsi sebagai entitas sekalipun nggak ditemenin rokok. 

Lain cerita dengan rokok. Rokok butuh korek api biar ujungnya terbakar dan bisa dihisap manusia. Rokok diuntungkan. Sedangkan korek, nggak untung nggak rugi alias netral. Karena dia cuma ngejalanin fungsinya. "Lalu, apa hubungannya rokok dan korek api dengan bakat?", mungkin kamu nggak tanya begitu dalam hati. 

Jadi, saya melakukan cocokologi. Dan saya menemukan korelasi diantara ketiga entitas tersebut. Ternyata, hasil cocokologiku mengatakan bahwa ada keterikatan antara korek api, rokok dan juga bakat. Korek api dan rokok ternyata bisa digunain untuk mencari dan menemukan bakat seseorang. Maksudnya?

Oke, sebelum ke situ, kita lompat dulu ke pembahasan bakat. Singkatnya, bakat diartikan sebagai kemampuan yang memang sudah melekat pada diri seseorang, bawaan sejak dari lahir. Kalau dalam Naruto Universe, bakat mungkin sebutannya Kekkei Genkai. Jadi, memang ada orang-orang spesial yang sejak dilahirkan sudah dikaruniai kemampuan-kemampuan di bidang tertentu. Konsepnya begitu.

Tapi, sebetulnya saya kurang sreg sama konsep bakat di atas. Bagiku bakat itu omong kosong. Dengan atau tanpa kemampuan bawaan, seseorang bisa menjadi ahli di bidang apapun, asalkan mau. Kamu nggak harus lahir dari keluarga seniman untuk jadi seniman. Nggak harus dari keluarga guru kalau mau jadi guru. Bapakmu nggak harus Mario Balotelli untuk jadi pemain sepak bola. Sama sekali nggak perlu!

Saya lebih percaya bahwa siapapun bisa menjadi apapun yang diinginkan, asal mau melakukan, terus belajar berlatih serta perbanyak jam terbang. Kalau kata Iblis Tampan dari Konoha, Rock Lee alias si Alis Tebal, dia bilang begini, "Seorang genius, ya? Apa artinya itu? Genius ? Aku memang tidak dilahirkan dengan bakat alami, tidak seperti Neji. Namun, aku bekerja keras dan aku tidak pernah menyerah! Itu hadiahku, itu adalah jalan ninjaku!".

Bukan berarti saya nggak percaya ada orang yang memang terlahir dengan bakat alami, ya. Iya, memang ada yang begitu. Tapi, itu bukan sesuatu yang luar biasa wah bagiku. Dia punya bakat alami, dia bisa melakukan sesuatu hal dengan lebih keren dibanding orang lain yang musti belajar lama untuk menguasai hal itu. Dan itu biasa saja. 

Ya kalau macan ngelahirin anak macan itu hal biasa. Tapi kalau macan tiba-tiba ngelahirin manusia, itu luar biasa anehnya. Seperti analogi ini, terlalu aneh dan memaksa.

Tapi intinya, bagiku bakat itu dicari, ditemukan dan diusahakan. Bukan sekedar warisan gen. Seseorang bisa berbakat di suatu bidang, itu karena dia mau membayar harga untuk menguasai bidang keahlian tersebut. Dia bayar dengan waktunya, tenaga, pikiran, dan kadang uang, untuk belajar dan berlatih secara konsisten dan persisten. 

Menurutku, C. Ronaldo nggak bakal jadi seperti dia yang sekarang kalau dia nggak gila latihan, main bola berjam-jam tiap harinya. Nggak ngejadiin bola sebagai teman, seperti Kapten Tsubasa. Pramoedya Ananta Toer nggak akan jadi penulis hebat yang diakui dunia jika dia nggak gila baca dan terus mengasah kemampuan menulisnya. Jimmi Hendrix nggak bakal jadi dewa gitar blues kalau dia sudah nyerah pas jarinya kapalan ketika lagi latihan kord gitar. Dan Pablo Escobar nggak mungkin jadi kartel narkoba yang agung kalau nggak terus memperbaharui kiat-kiat biar lolos dari petugas imigrasi.

Maksudku, dilahirin dengan bakat alami, ya okelah. Itu satu keuntungan tersendiri. Tapi, percuma punya bakat kalau nggak terus dikembangin. Lama-lama nggak guna bakat bawaan itu. Ya mungkin sebuah pisau dari awal sudah dibikin setajam mungkin untuk mengiris dan memotong sesuatu. Tapi kalau nggak dipake, cuma dijadiin pajangan, lama-lama karatan dan tumpul juga. Kehilangan esensinya, gitu.

Sekalipun bawaan lahir, dia masih perlu ngelakuin hal-hal yang sama seperti orang biasa yang nggak dikarunia kemampuan bawaan. Masih harus latihan, latihan, menambah jam terbang dan improvisasi biar nggak mati dimakan jaman. Jadi, nggak jauh beda antara yang dilakukan orang dengan bakat bawaan, sama orang yang memang sengaja bertekad menguasai bidang tertentu. Keduanya punya peluang dan kesempatan yang sama. 

Terus, jika ada orang yang sama sekali nggak tahu nggak ngerti bakatnya apa, gimana dong? Nah, ini baru masuk ke pembahasan sesuai judul tulisan. Seperti yang terbilang di beberapa paragraf sebelumnya, tipsnya adalah menggunakan korek api dan rokok untuk cari dan menemukan bakatmu. 

Nggak, saya nggak lagi nyuruh kamu untuk merokok biar nemu bakatmu. Bukan begitu. Ini cuma simbolis saja. Cuma metafor. Biar tulisan ini nggak dibilang motivasi aja, makanya dibikin begini. Langsung saja, scroll ke bawah untuk baca step by stepnya.

Pertama, soal korek api. Kamu perlu gunain korek api untuk dijadiin tools pencarian. Langkah awal, kamu musti mengorek ke dalam dirimu secara mendalam. Ya, mengorek. Biar nggak ambigu, kata korek bisa kamu artikan sebagai menggali. Ya, mirip menggali tanah. Mulailah menggali semua hal tentang dirimu. Dari umum ke spesifik. Tanyakan pada dirimu, kamu sukanya apa, sat? Keahlian seperti apa yang ingin kamu kuasai. Apakah kamu akan bahagia dan tidak terbebani bila ngelakuin itu setiap hari. Apakah tingkat kecintaanmu pada bidang keahlian ini tidak akan luntur sekalipun minim apresiasi dari apa dan siapapun.

Bikin pertanyaan dan jawablah sendiri. Tangkap dan masukkan semua yang kamu temukan dalam proses mengorek ini. Mungkin, kamu akan banyak menemukan sampah, ulet dan belatung, plastik bekas kemasan air mineral, tanah, cacing, dan semoga sih ada emasnya. Brainstorming dulu. Terus korek secara lebih mendalam. Mengorek dan mencari ke dalam menjadi penting sebab keyakinan, letaknya di situ. 

Yang tahu jawaban atas kegundahanmu cuma dirimu sendiri. Orang lain sebatas mengerti, tapi tidak mengalami. Bedanya di situ. Maka sudah waktunya berhenti buang-buang waktu untuk bertanya apa bakatmu kepada orang lain. Bertanya, mengeluhkan hal-hal yang sebenarnya kamu ngerti jawabannya apa dan gimana, adalah pemborosan. 

Ya ibaratnya telur ayam. Kalau telur itu pecahnya dari luar, telur tersebut berakhir jatuh ke minyak penggorengan dan cuma jadi santapan di piring orang. Tapi, tapi, kalau telurnya pecah dari dalam, yang muncul adalah kehidupan. Jadi Pitik. Jadi makhluk yang sama sekali baru, yang wujud, bentuk dan Teksturnya jauh beda dari sebelumnya. Jadi sesuatu yang bernyawa. Yang berkesempatan, tumbuh dan berkembang jadi ayam jantan aduan, atau betina petelur yang melahirkan generasi baru di masa mendatang. Dari cairan benyek bisa jadi padat bernyawa, bukankah itu menakjubkan? Itulah kekuatan dari orang dalam.

Setelah kamu mengorek/menggali ke dalam, mungkin kamu akan nemu satu dua hal paling dominan, yang rasanya, kamu mau dan mampu menguasai. Berikutnya, kamu perlu mengcorrect hasil temuan tersebut. Maksudnya, ya dikoreksi atau dievaluasi ulang temuan itu. Di tahapan ini kamu musti mempertimbangkan banyak hal sebelum ambil keputusan : bergelut dan bertaruh untuk menguasai suatu bidang.

Benar nggak, kamu suka ngelakuin hal itu. Apakah kesukaanmu pada bidang itu cuma kesenangan sementara. Atau kamu beneran yakin ke depannya bakal terus senang ngelakuin itu, dengan atau tanpa diapresiasi siapapun. Serius nggak kamu mau ngelakuin itu dengan segenap kesungguhan. Seberapa siap kamu mau menanggung resikonya. Karena setiap pilihan punya resiko yang musti dibayar lunas. Misal kamu milih A, mungkin kamu kehilangan peluang untuk ngelakuin B, C, D, dan seterusnya. Kalau nggak salah, yang begini ini namanya Opportunity Cost.

Entah nanti untung atau buntung, siapkah kamu menghadapi segala kemungkinan yang terburuk sekalipun jika memutuskan mau menekuni bidang keahlian tersebut.

Intinya dikoreksi dulu semuanya. Menurutku, kegiatan mengoreksi diri semacam ini jauh lebih bermanfaat bagi hidupmu ketimbang coba-coba mengoreksi hidup orang lain. Ya kalau kamarmu masih berantakan, debu di sana sini nggak disapu, spreinya kusam nggak pernah dicuci, putung dan abu rokok tercecer sembarang, dan banyak mengoleksi sarang laba-laba, kok ya masih sempat-sempatnya ngejuriin kerapian kamar orang lain?

Maaf, lagi-lagi melenceng kejauhan.

Setelah mengorek, ketemu terus dicorrect, selanjutnya, tahapan terakhir mulailah gunakan korek api sesuai fungsi utamanya, yakni untuk membakar. Apa yang dibakar? Ya apalagi kalau bukan semangat! Bakar semangatmu biar jiwamu berkobar, membara, menyala-nyala dan berbahayahaha. 

Kesimpulannya, balik lagi ke kalimat pertama dari tulisan ini, "Sekali ujung rokok dibakar, baranya pantang padam sebelum takdir menghendakinya jadi tegesan". Semoga tulisan ini nggak bikin kamu garuk-garuk kepala dan bertanya, "APA SIH?!!". Tapi kalau ternyata kamu masih tanya begitu, yaaaa, CMIIW.

Post a Comment