Vsdiksi kuanggap gagal sebagai platform ideal. Jelas, kegagalan itu mengagetkan. Ditarik lebih jauh lebih dalam, kegagalan itu menorehkan kekecewaan. Gimana tidak? Wong sudah pertaruhkan segala yang 'aman' demi ngejar passion, yang didapat malah poison.

Kenyataan tidak mengenakan, lahirkan keluhan : harusnya nggak gini, tuhan. Ngejar passion, demi Possessions, dapatnya poison. Jika sudah begitu, kelanjutannya pasti bermuara pada kata patient. Nah, ketemu polanya : Passion - Possessions - Poison - Patient. Kombinasi maut. Tidak lain, puncaknya adalah merasakan penderitaan. Apalagi? 

Tapi tenang, ada satu ilusi yang bisa dijadiin hiburan. Satu jargon yang melegenda, yang mengatakan : semua akan indah pada waktunya. Sebentar. Indah, katamu? Indah Matamu. Ditinjau dari prolognya, agaknya warna tulisan ini punya kecenderungan lebih pesimis dari yang kemarin. 

Tapi, apakah benar seperti demikian? Kita lihat saja, nanti. Ini baru opening, belum layak dapat judgement.

Semacam Teori Harapan

Oke, langsung. Berharap, itu sama kayak merokok. Satu sisi, rokok ngasih kenikmatan tersendiri yang hanya bisa dirasakan para perokok. Kaum anti rokok mana dan mau ngerti sisi ini. Sisi lain, semua perokok melek fakta bahwa rokok nggak bikin mereka jadi sehat. 

Bahkan mayoritas perokok sepertinya sadar : merokok sama aja kayak investasi penyakit jangka panjang. Yang return-nya, baru bisa kelihatan pas mereka udah tua, menjelang kematiannya. Hih, ngeri juga.

Berharap, pun begitu. Nggak jauh beda, lah. Dengan berharap, kita membakar semangat biar menyala-nyala. Biar ada gairah dalam upaya mewujudkan segala mimpi menjadi nyata senyata-nyatanya. Tetapi, agaknya kita sepakat dan sepaham. Bahwa faktanya, harapan kelewat sering dipecundangi sama kenyataan.

Harapan, betah bertitle sebagai harapan. Utopis dia. Cuma nyata di kepala. Di kenyataan, di mana, ya? Jika bungkus rokok wajib nyantumin peringatan betapa bahayanya rokok itu, semestinya, di kesadaran kita masing-masing juga perlu dikasih semacam warning : harapan berlebih, membunuhmu.

***

Tulisan ini, bukan bermaksud mengendorse narasi pesimistik supaya kamu nggak punya harapan. Bukan begitu. Narasi seperti itu nggak ada gunanya. Kenapa nggak guna? Karena ya mustahil saja ada orang yang hidupnya tanpa punya pengharapan. Semua orang punya harapan. Semuanya! 

Bahkan, orang yang mengatakan kalau dirinya sudah putus harapan, tetap saja ia berharap sesuatu. Harapan paling pesimisnya, ya dia berharap hidupnya selesai. Sebuah ironi yang mengerikan untuk dituliskan. Tapi, maksudku begini. Ironi di atas, itu nunjukin fakta kalau sejatinya berharap sudah menjadi fitrahnya manusia.

Nggak ada satupun manusia yang bisa lepas dari pengharapan. Sekalipun kamu pernah bikin statement, misalnya, "Saya tidak berharap apapun, nothing to lose". Ya boleh lah di cangkem bilangnya begitu. Tapi, di kedalaman sana, kata-kata semacam itu, sama sekali nggak berlaku. 

Meski terus-terusan kamu tepis dengan penyangkalan, yang namanya harapan, bakal ada dan selalu bersemayam di kedalaman sana. Karena fitrah, juga kodrat, nggak bisa dilawan. Bisanya cuma diterima sebagaimana mestinya. 

Oke, jelas, ya. Jadi, landasan teorinya cukup segitu saja. Haha. Sekarang, move ke konteks peristiwa. 

Peristiwa Pasca Kematian Vsdiksi

Saya nggak mau lagi punya urusan sama vsdiksi. Sudah kuanggap dia nggak pernah ada dalam kehidupan. Jejaknya kuhapus semuanya. Istilahnya anak muda, move on.  Setelahnya, saya tenggelam dalam kesibukan yang nggak perlu effort dalam menjalaninya. Istilah kerennya, menganggur. 

Bangun siang. Bakar rokok nyeduh kopi. Jika bosen, ya keluar. Cari angin. Lalu melakukan sederet aktivitas lain yang sama-sama nggak produktif. Rutinitas nggak ngapa-ngapain itu diroja'ah terus tiap harinya. Dan bolehlah waktu itu saya dianggap selayaknya aset keluarga yang merugikan.

Disaat seperti itu, ada satu peristiwa yang secara tidak langsung mengubah orientasi saya. Menjelang berakhirnya 2019, negara bikin ulah. Mahasiswa resah. Terjadilah gelombang protes besar-besaran dari mahasiswa dan elemen rakyat lainnya. Mereka menolak disahkannya RUU KUHP yang konon katanya, banyak sekali memuat pasal-pasal janggal dan kontroversial.

Bagiku, demo mahasiswa kala itu dirasa punya peran yang krusial secara personal.

Demo itu memercik hasrat di dalam diri saya. Mengilhami untuk bikin keputusan yang nggak pernah digadang-gadang bakal muncul di pikiran. Adalah, saya pengin kuliah. Secara, saya ini dulunya nggak begitu serius pas sekolah. Terang saja, saya dikejutkan sama keinginan bawah sadar yang merekomendasikan diri ini lanjut kuliah. 

Kenapa ngelihat ada demo malah jadi pengin kuliah? Ini aneh, menurutku. 

Awalnya sih saya mengira keinginan tersebut muncul karena dalam jiwa saya ada semangat aktivisme yang progresif dan revolusioner. Wah, u wow! Setelah dipikir ulang, sepertinya nggak gitu juga. Bukan itu kayaknya. Didorong penasaran, akhirnya saya selidiki dari mana asalnya hasrat berkuliah ini muncul.

Saya breakdown segala hal yang sekiranya memiliki pertalian langsung, yang mengkaitkan antara diri saya dengan peristiwa demo tersebut. Pertama, saya crosscheck di mana saya nemu informasi soal kecacatan aturan yang ditolak oleh para mahasiswa. Jawabannya, tentu dari media sosial. Lebih tepatnya, dari story whatsapp kawan seangkatan yang mana mereka ini lanjut kuliah. 

Sedikit banyak saya kenal sama mereka. Mereka, baru masuk kuliah. Mereka baru kenalan sama tokoh-tokoh macam Tan Malaka, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, Munir, Marsinah dan lain sebagainya. Sedang di fase berbusa-busa ngomongin hal-hal besar di luar kendali mereka. Mungkin juga, lagi demen dengerin lagu-lagu bertema Sospol seperti misal, lagu Peradaban-nya .Feast dan lain sebagainya.

Beberapa praduga yang disebutkan di atas, coba saya bandingkan ke diri saya. Tidak bisa tidak, yang terpindai adalah perasaan Superiority Complex. Superiority Complex-nya, gampangnya begini : saya merasa lebih dulu tahu apa yang mereka baru tahu. Merasa lebih unggul, gitu. Perasaan Superiority Complex ini, ndilalah kesenggol fakta yang bikin cidera. 

Fakta kalau orang yang saya anggap kurang ngerti soal Sosial Politik, ngelompatin diri ini satu level di atasnya. Mereka sudah ikutserta dalam perlawanan aksi massa. Yang mana, saya belum melakukan hal serupa sebab merasa bukan bagian dari mahasiswa. Semula superior, turun kasta jadi inferior. Dan tidak bisa tidak, waktu itu perasaanku diselimuti sama yang namanya iri dan dengki.

Hatiku serupa disemprot pake water cannon brimob ketika menonton story whatsapp kawanku yang menenteng kertas hvs bertuliskan kritik satire yang lucu dan jenaka. Cemburu di hati, panasnya seperti ban mobil yang dibakar pendemo di hadapan aparat, di depan gedung wakil rakyat. 

Dan jelas sudah kesimpulan yang kudapat : keinginan berkuliah muncul semata-mata karena iri, nggak bisa ikut demo seperti mereka.

Haaaaa? Kuliah karena percaya pendidikan tinggi berpotensi memperbaiki nasib di masa depan? Haaaaa? Lanjut kuliah biar dapat kerja yang pretensius? Pfftttt. Duh, mohon maaf, nggak kepikiran saya soal-soal begitu. Pengin demo, men. Aneh memang.

Sekalipun aneh, tapi sepertinya saya perlu bilang makasih sama perasaan iri dan dengki waktu itu. Karena didorong rasa iri dan dengki, akhirnya saya berhasil menghapus label pengangguran dengan menyandang status baru : akademisi. Pengangguran berkedok akademisi, begitu. 

Bisalah ini memotivasi kawan-kawan sekalian yang masih nganggur. Bahwa solusi biar nggak jadi pengangguran, ya kerja dong. Apalagi?!

Singkat cerita, saya coba mendaftar, lalu keterima, hingga betulan jadi mahasiswa. Nah, kebetulan, di tahun 2020 ada demo serupa. Demo tolak Omnibus Law.  Di mana-mana, di sana-sini, degup perlawanan terekam lewat tagar Mosi Tidak Percaya. Momen ini, sudah saya idamkan sejak setahun lalu. 

Akhirnya tetap, saya nggak bisa 100% ngerasain gimana itu atmosfer demo mahasiswa yang sebenarnya. Secara, saya mahasiswa jalur corona. Kampusnya saja belum tahu gimana bentuknya. Apalagi sempat memakai almamater dan bergabung dalam barisan aksi massa. 

Ya memang saya ikut turun. Cuma, saya merasa sedang cosplay sebagai mas-mas biasa. Bukan selayaknya mahasiswa yang bangga mengenakan almamaternya. Corona sialan!

Peristiwa ini, lagi-lagi divalidasi sebagai bukti yang semakin menguatkan padangan saya, kalau sebenarnya, DIA itu memang suka sekali becanda. Duh, gusti.

Wajah Baru Vsdiksi

Januari 2021, Vsdiksi reinkarnasi. Ia punya wajah baru. Menjelma sebagai produk sastra yang bisa dan sangat boleh untuk dilihat, dipegang, terpenting dibaca oleh siapapun orang. Terwujudnya buku vsdiksi sebenarnya tidak diniatkan. Terbukti dari kata pengantar di bukunya yang terkesan ngawur dan asal-asal dituliskan.


Nggak ada tertulis ucapan makasih pada sang pencipta. Pada orang tersayang. Juga pada pihak-pihak yang berperan di balik kelahiran buku tersebut. Memang sembrono penulisnya! Kata pengantarnya pun nggak ada penjelasan yang setidaknya mendetail perihal seperti apa isi bukunya. Memang bener-bener nggak niat si penulis medioker ini. Sekarepe wudele dewek.

Ya mau gimana? Sebabnya semua ini seakan-akan terjadi begitu saja. Nggak punya rencana serius. Nggak ada ambisi yang pretensius. Mendadak, muncul ide nerbitin buku. 

Ide itu saya realisasikan dimulai dengan ngecek ulang semua tulisan yang tercecer di mana-mana. Saya kumpulin semua tulisan dalam satu file utuh. Terhitung, kurang lebih ada sekitar 60 judul yang terkumpul. Tulisan tersebut, sepertinya bisalah dikategorikan sebagai puisi. Semua puisi, ditulis berdasar konteks peristiwa yang terlewatkan selama kurun waktu 5 tahun kebelakang. 

Proses penulisan selama 5 tahun. Ya semacam merekam tiap-tiap momen yang terjadi di hidup. Baik yang menyenangkan, maupun menyedihkan. 

Tentu, sebelum semua tulisan itu masuk mesin cetak, terlebih dulu saya permak sedemikian rupa biar enak dibaca. Meski tetap, jauh dari kata sempurna. Singkat cerita, saya lempar file tersebut ke penerbit. Penerbit indie, namanya Farha Pustaka. Beralamat di Nagrak Jl. Taman Bahagia, Benteng, Warudoyong, Sukabumi. 

Oh ya, soal penerbit Farha, perlu saya apresiasi kinerja mereka. Sebab mulai dari konsultasi, kirim file, revisi sampai cetak bukunya, layanan yang mereka berikan, memuaskan. Prosesnya pun tergolong cepat. Jika kamu mau kenalan sama penerbit Farha, bisa cek di sini. Barangkali serasi. Siapa tahu.

Namanya juga penerbit indie. Ya tentu sebagian besar proses pre-produksi saya lakukan secara mandiri. Mulai dari nulis, editing, revisi, bikin cover, juga pembiayaan, semua independen. Tapi, khusus bagian layout, saya pasrahkan ke tim Farha Pustaka. Ringkasnya, Kurang lebih menunggu sekitar sebulanan, buku vsdiksi selesai diproduksi. Saya dikasih jatah 7 eksemplar buku.


Ada perasaan senang tersendiri ketika kali pertama saya membuka plastik tipis yang membungkus buku vsdiksi tersebut. Seperti nggak nyangka. Nggak nyangka, saya bisa sampai di titik ini. Satu pencapaian yang setahun lalu, sedikitpun nggak ada di bayangan. Yah, nampaknya apa yang diucapkan Jeje Boy, itu benar, "Hidupku kombinasi antara kecelakaan dan keajaiban".

Platform vsdiksi yang kuanggap gagal, jelas merupakan kecelakaan. Tapi, terciptanya buku vsdiksi, ini keajaiban. Saya katakan keajaiban karena ada banyak sekali hal-hal tak terduga yang menyertai setelah buku mewujud nyata. Seperti misal, semua puisi di buku itu, seperti saling terhubung satu sama lain. Seperti membentuk pola, yang jadi rangkaian untuk setiap tema di dalam bukunya. 

Dan hal ini, sebenarnya tidak ada dalam rencana. Tidak dikonsep sedari awalnya. Semuanya seperti kebetulan. Tapi saya tidak percaya ada kebetulan. Jadi, bagi saya, ini satu keajaiban. Selain itu, ada banyak keajaiban lain yang mungkin bakal saya tulis lagi di sini, kapan-kapan.

Pungkasan

Saya pikir, semua ini nggak bakal kejadian jika saya tidak hijrah ke sini, ke Jogja. Kota ini telah banyak membuka jalan yang dulu ketutup portal. Pelan-pelan, yang dulunya gelap dan sukar, sekarang mulai sedikit terang dengan sinar cahaya redup remang-remang. 

Ya memang, meski masih ngeblur dalam pandangan. Setidaknya, rute yang kuambil ternyata tidak semengerikan seperti yang dulu terbayang, di pikiran. 

Sebab sesuatu yang saya yakin penting, sepertinya sudah ditemukan. Satu pencapaian yang membuat diri ini sudi, bertaruh di jalan ini. Dan setelah kelahiran buku vsdiksi, satu keputusan besar saya ambil : akan ku tabrak apapun portal penghalang di depan. Di jalan ini, jalan seni yang sunyi dan tidak pasti. 

Sudahlah, tulisan ini dicukupkan saja sekian. Eh, jadi gimana? Tulisannya nggak pesimis lagi, kan? 

Post a Comment