Suasana tadi malam cenderung sepi. Padahal malam takbiran. Tapi tak ada lalu lalang kendaraan yang memadati jalanan. Tak ada berjubel orang berbaris dalam keramaian karnaval takbiran. Juga di mushola, tak kelihatan anak kecil yang heboh nabuh kentongan, memukul bedug dan rebutan megang pengeras suara. Sama sekali tak ada. Mungkin, tadi malam toa masjid sedang terpenjara oleh gulana. 

Resah yang mencapai puncaknya. Sebab ia diminta dengan hormat, untuk perlihatkan kerendahatiannya dengan tidak menggemakan takbir sebagaimana tradisi tahun sebelumnya. Juga ia dituntut sebisa mungkin tetap kuat. Senantiasa tabah meski kelewat sering kabarkan duka lewat kalimat istirja. Situasi memilukan ini terekam dalam syair pendek karangan Pak Jokpin yang sungguh, menyayat hati, "hari-hariku terbuat dari innalillahi".

Prolog tulisan ini memang sekilas secara eksplisit sedang menyoroti situasi pandemi. Iya, betul demikian. Tapi bukan berarti saya bakalan bahas corono. NO! Bosen saya ngomongin corono terus. Ya gimana nggak bosen jika tiap hari dijejali informasi dari sana dan sini. Ragam berita dari yang menyedihkan sampai yang menggelikan, semua bergantian masuk dalam kepala. Triple kill : wabahnya mematikan, beritanya menakutkan dan polarisasinya memecah kekompakan. Dan mengumpat adalah kewajaran. Maka marilah kita bersama mengumpat dalam harmoni kekesalan : sialan!

Selain bosen, alasan lain juga karena saya nggak punya kredibilitas untuk bahas masalah virus. Nanti malah kesannya jadi sok tahu. Dan tambah sok lagi jika semisal di tulisan ini saya mengkritik pemerintah terkait kebijakannya dalam penanganan wabah. Nggak. Saya nggak bakal mengkritik. Apanya yang perlu dikritik, sih? Setahuku, semua kebijakan negara terkait pandemi ini nggak ada yang perlu dikritik. Nggak ada satupun. No debat!

Saya justru heran sama warga sipil biasa yang sok-sokan kritis pada negara. Dia pikir suaranya punya power kali, ya. Duh, kacau betul pola pikirnya. Dia itu sadar nggak ya kalau selama ini, ketika dia berkoar-koar dan bersuara lantang mengkritik pemerintah, itu dia melupakan sesuatu : bahwa microphone-nya ke-mute sejak dalam settingan. Dan saya sih percaya, mereka yang tiap hari kritik pemerintah, itu yang ada di pikirannya : pemerintah selalu salah. Padahal pemerintah bukan pemain bola. Aneh bener.

Apa kerennya sih mengkritik pemerintah? Kalau cuma pendapat, cuma opini, semua orang juga punya! You're not spesial. Dan kayaknya orang-orang yang mengkritik pemerintah itu nggak pernah baca berita. Kalau mereka baca berita, yakin saya mereka bakal kagum dan respect sama pemerintah. Karena konon katanya, penanganan pandemi di negeri ini, itu terkendali. Dengar kabar itu, saya langsung menaruh respect setinggi-tingginya sama pemerintah. Muach.

Orang keseringan mengkritik kadang malah berpotensi jadi pembenci. Ya wajar sih dibenci. Tapi sebisa mungkin ya jangan pernah menanam kebencian sama pemerintah. Nggak baik loh membenci sesuatu yang kamunya sendiri nggak betul ngerti gimananya. Terlebih kita tahu sendiri. Pemerintah kita sudah kerja keras melawan pandemi sialan ini.  Dan jelas, kinerja wakil kita di gedung sana sudah semaksimal mungkin. Apresiasi dong, mereka! Jangan malah dikritik terus. 

Kebijakan yang diputuskan pemerintah, apapun itu wujudnya, yang perlu kamu tahu, itu dipilih setelah mempertimbangkan segala sesuatu secara matang-matang. Mereka berhitung resikonya, bung. Jika milih A, dampaknya mungkin BCD. Tapi jika milih B, mungkin efeknya CDA. Dan menentukan keputusan mau milih yang mana dari dua pilihan yang sama-sama beresikonya, itu berat. Sama beratnya, seperti ketika saya menulis tulisan ini.

Nggak segampang jempol berkomentar, tuan. Karena apapun kebijakan yang diambil pemerintah, itu ya sudah yang paling bijaksana. Tolonglah, percaya ke mereka. Beneran bijaksana itu kebijakannya. Bahkan saking bijaksananya, Socrates saja yang dianggap orang paling bijak di Athena, itu dia pernah ngomong ke saya kalau dia minder melihat kebijakan bikinan pemerintah kita. Eh, ini serius loh ini becanda.

Kadang saya merasa kasian sama pemerintah. Mereka sudah kerja serius, mati-matian mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk mengabdi pada rakyat, eh malah keseringan kritik yang didapat. Dan sedihnya lagi, warga sipil macam kita itu bisanya cuma kritik doang tanpa ngasih solusi. Padahal kalau semisal ditukar posisi, belum tentu yang hobinya kratak-kritik punya kesanggupan ngurusin negara yang sedemikian lebar teritorialnya. Susah. Sesusah saya nentuin ending ini tulisan.

Ya, sudahlah ya. Dari pada terus-terusan mengkritik, mending bantuin itu pemerintah. Ya seminim-minim bantuan, paling tidak bisa bantu lewat doa. Tentu kau masih ingat gimana caranya berdoa, kan? Atau lupa? Kalaupun kamu lupa, saya contohin yang paling simpel saja, ya. Begini doanya : Bismillah, komisaris mahaplung.

1 Komentar

Posting Komentar