Ini hari penting bagi Ranum. Hari di mana ia perlu mengasah ketajaman pikiran, guna menyerang dan melumpuhkan lawan yang tak kelihatan. Lawan yang satu ini, tidak mempan diancam senapan, pisau sunatan, atau bahkan sel kurungan. Yang ia lawan, adalah pemikiran. Maka senjata yang Ranum butuhkan, tiada lain selain pemikiran juga.
Ranum paham, pemikiran itu tak bakal hilang meskipun dibungkam dengan sederetan pelarangan. Tak bisa ia sertamerta ngelarang anaknya untuk tidak boleh ngoceh seperti kemarin malam. Ia perlu menawarkan gagasan alternatif pada anaknya. Gagasan yang berkebalikan dari pakem ideal yang didapat anaknya dari sang bapak.
Ranum pengin nyingkirin doktrin Seda di kepala anaknya. Bukan karena tak suka, alergi, apalagi antipati sama pemikiran yang demikian. Bukan. Bukan begitu. Ranum, secara stances political cenderung setuju dan sepaham dengan pemikiran Seda, yang sudah ia tanamkan di kepala Goni, anaknya.
Hanya saja, Ranum tak ingin kelak anaknya merasakan kekecewaan. Dia yang sejak kecil didongengi tentang kisah negara yang makmur, adil, tentram kartaraharja, begitu dewasa, tak satupun dari dongeng itu yang dijumpainya. Kecewalah dia, pastinya. Dan itulah yang tak Ranum kehendaki dialami oleh Goni.
Ia sepenuhnya mengerti, kehidupan bakal membikin anaknya menelan banyak kekecewaan. Banyak kecewa pasti dia besarnya. Dan nggak perlulah ia nambah satu kekecewaan pada kefanaan ideologi. Jangan sampai. Jangan, Nak. Sudah nggak jaman dan nggak lagi keren, dikecewakan bahkan sampai rela mati hanya demi ideologi. Mati konyol itu namanya, Nak.
Dan mumpung anaknya masih kecil, pasti kepalanya tak sekeras batu yang butuh tenaga ekstra untuk diukir. Jadi, Ranum mulai memikirkan apa kiranya yang bakal ia ceritakan pada anaknya. Mikir, mikir, mikir, ketiduran dia. Bangun bangun dapat ilham. Bohlam peternakan Ayam menyala remang di atas kepalanya! Ia putuskan, ia hendak menceritakan tentang penindakan hukum yang aneh tapi nyata. Yang kelewat sering dipraktekkan dan dipertontonkan oleh otoritas keamanan di negaranya.
Negara Huah, itu nama negaranya. Negara ini indah betul. Betulan indah-indah : alamnya, budayanya, dan semua-muanya percuma. Kenapa percuma? Kata lagunya The Panas Dalam sih, "Jika ternyata pendudukmu, serta pemimpinmu ternyata, percuma". Ya, percuma sajalah. Dan salah satu kepercumaan itu akan Ranum ceritakan pada anaknya, si Goni. Nanti malam. Rencananya, akan ia lakukan menjelang anaknya tidur.
Ketika mentari pulang ke kandang. Lalu sore bergantian shift dengan malam. Datanglah bulan dan bintang sebagai penerangan. Meski kalah terang dari lampu-lampu peradaban. Ranum, Seda dan Goni, sedang khusyuk menonton televisi. Mereka menonton kartun Spongebob Squarepants. Dalam episode yang mereka tonton, yakni Squid on Strike, adalah sebuah episode yang tak berjarak dengan realita.
Seperti yang diketahui, tuan Krab si kepiting, merupakan kapitalis sejati yang kikir akut. Di kepalanya cuma terpikirkan uang, uang dan uang. Yang terpenting baginya, adalah untung besar. Ia tak benar peduli pada nasib buruhnya dan kerap kali ia tak memberikan gaji. Dan pada episode ini, si Krab ngehe itu sedang asyik menghitung pendapatan. Ia mendadak jengkel karena keuntungan yang didapat kurang tiga dollar, tak seperti kemarin. Ia geram bukan main
Ia datangi dua karyawan, yang keduanya punya kepribadian berlainan. Spongebob si periang dan optimistik. Sedang si Squidward, murung dan pesimistik. Krab marah kepada keduanya. Kepada Spongebob, dia marah karena mendapati spongebob kebanyakan berdandan--benerin dasi. Kepada Squidward, si Krab marah hanya karena gurita pemalas itu bernafas di waktu jam kerja. Aneh bener.
Squid membantah dengan bilang ke bapak bosnya, kalau dia tak pernah menggaji mereka. Dengar kata gaji, bukan memberi gaji, Krab malah bikin aturan baru yang mencekik karyawannya. Aturan yang sungguh suka-suka dan semena-mena. Jika kedua karyawannya keperogok buang-buang waktu saat kerja, potong gaji resikonya. Setelah diumumkan aturan ini, jelas, Squid merasa ini bentuk ketidakadilan. Ia coba membujuk si spons cuci piring itu untuk ikut dengannya melakukan aksi mogok kerja.
Mungkin, Squid teringat satu pamflet paling sangar yang pernah ditulis oleh Marx dan Engels dalam manifestonya, "Kaum buruh sedunia, bersatulah! Kita tidak akan kehilangan apapun, kecuali rantai yang mengikat tangan kita!". Hi, ngeri.
Spongebob yang tak mengerti betul tentang mogok kerja, membuat Squid merasa perlu untuk mengospeknya. Mulailah Squid menerangkan silabus mogok kerja. Pertama, buang dan banting itu seragam. Kata Squid, "Seragam adalah simbol ketertindasan". Kedua, bikin pamflet bertulisan ketidakadilan dan penindasan yang dipraktekan si kepiting kapitalis di gerai Krasty Crab tersebut.
Dua ajaran itu, dipraktekan Spongebob dengan sangat buruk. Dan itu bikin Squid jengkel. Ketika Squid hendak berorasi, ia lebih menyuruh Spongebob untuk ngumpet saja dibalik tiang. Diam di sana agaknya bakal membikin Spongebob lebih ada gunanya ketimbang ikut dan mengacaukan aksinya. Dengan megaphone di tangan. Dengan kemarahan pada ketidakadilan. Dengan kegeraman pada si kapitalis yang semena-mena terhadap nasib pekerja. Squid berdiri tegak dan melakukan orasi yang menggelorakan hasrat pembangkangan.
Saat berorasi, banyak penduduk bikini buttom berdatangan dan mendukung aksi tersebut. Namun sayang, semua yang datang cuma sekedar ikut-ikutan. Nggak ngerti substansinya, men. Gitu. Orasi selesai, perut mereka lapar. Salah satu ikan, menyeruakan ajakkan untuk makan di itu restoran. Milik si Krab tentu saja. Mereka berlarian menggeruduk Krasty Crab dan Squidward terinjak-injak oleh kerumunan massa.
Bung, kemenangan kaum proletarian nampaknya gagal. Revolusinya harus dipending dulu. Lagi-lagi kapitalis mampu tunjukkan kuasa arogansinya. Krab, dibuat senang karena orasi Squid justru mendatangkan keuntungan baginya. Dan nasib Squid pun jadi gepeng lantaran terinjak-injak para ikan yang opportunis dan hipokrit. Ia kemudian mengucapkan kata-kata yang mengesankan, "Tak ada yang memperdulikan nasib buruh selama mereka mendapatkan kepuasan secara instan".
Selepas Squid ngucapin itu, jalan cerita di episode tersebut terpaksa berakhir duluan. Sebabnya Ranum mendadak mencet tombol off di remot yang sedari tadi ia pegang. "Nak. Itu penggambaran dari salah satu keadaan yang sering terjadi di negara kita. Yang nyata, yang sebenarnya", ucap Ranum.
"Bapakmu nggak ceritain itu ke kamu, ya?".
"Kamu cuma didongengin tentang yang indah-indah doang, ya? Yang tak pernah terjadi dan mungkin mustahil terjadi", lanjutnya.
"Yang bapakmu katakan itu memang indah, nak. Memang itu yang diidamkan banyak orang yang waras pikirannya. Tapi sayangnya bapakmu tidak bilang bagaimana yang terjadi di kenyataan. Bapakmu cuma dongengin yang utopisnya saja!".
"Jadinya kamu, tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nak", pungkasnya.
Panjang kali rentetan ucapan yang Ranum lontarkan. Ucapan itu, satu sisi menyindir sang suami. Dan Seda sadar betul akan sindiran istrinya itu. Di sisi yang lain, ucapan Ranum membuka rasa penasaran di pikiran Goni. Ingin ia dengar penjelasan dari ibunya dengan porsi lebih banyak dari yang tadi beliau ucapkan. Baru saja Goni mau menimpali ucapan ibunya, eh keduluan bapaknya.
"Kamu ini kenapa sih? Marah-marah nggak jelas", ucap Seda.
"Kenapa kenapa! Ya harusnya kamu bilang sekalian dong ke anakmu tentang kenyataan. Harusnya kamu terangkan. Bahwa kenyataan yang sebenarnya itu begini. Baru kemudian kamu tanamkan pemahaman ke Goni kalau yang semestinya ideal, itu begitu", Ranum mendebat.
Mendadak Ranum jadi nggak mood lagi. Ia beranjak dari sofa dan melangkah ke kamarnya. Seda berupaya mengejar dan membujuk istrinya agar tidak ngambek dan marah. Sementara itu, Goni sedari tadi diam melihat pertengkaran kecil orang tuanya. Tiba-tiba ia berucap, "Kalian jangan sering-sering ya mempertontonkan pertengkaran-pertengkaran seperti ini di depan aku. Nanti kebawa ke aku pas udah gede. Nggak kasian, kalian?".
Mendengar anaknya tiba-tiba ngomong begitu, suami istri tersebut secara serentak hentikan langkah kakinya. Membalikkan badan ke arah Goni. Kemudian, keduanya saling bertatapan satu sama lain. Seolah-olah, di mata keduanya isyaratkan sebuah pertanyaan, "Siapa yang ngajarin itu ke Goni?". Dan seolah-olah, Goni bisa baca isi pikiran kedua orang tuanya. Tanpa nengok ke belakang dan pandangi ibu bapaknya, Goni menjawab tanya dengan menunjuk bayangan dirinya yang tercermin di layar televisi yang mati.
Post a Comment