Telingaku mulai akrab sama kebisingan subkultur alternative rock asal Seattle semenjak mengenal Nirvana. Sejak saat itu kupingku memulai ekspedisinya mengembara ke berbagai suaka band lawas bergenre grunge lainnya. Secara berkala, saya mengkonsumsi musik-musik rock alternative lain seperti Pearl Jam, Alice in Chains, juga Soundgarden. Kemudian Audioslave serta Foo Fighters, menyusul kudengarkan belakangan. Sebenarnya sedikit ada penyesalan. Mengapa eksistensi kedua band tersebut telat terdeteksi radar referensi?

Secara teori dan praktek, skill bermusik saya is dead. Nggak punya skill sama sekali. Tapi secara soul, bisa jelas saya rasakan ada perbedaan kontras diantara kesemua band pengusung grunge yang tadi saya sebutkan. Seperti masing-masing punya warnanya tersendiri. Bandingkan saja misal antara Nirvana dengan Pearl Jam. Secara musik, Nirvana mengandalkan distorsi gitar yang kasar dan mentah. Sedang Pearl Jam, ada nuansa manis yang ritmis pada tiap melodi gitar yang mereka mainkan. Beda kali keduanya.

Namun, baik Nirvana maupun Pearl Jam, bagiku keduanya sama-sama keren. Juga untuk band-band Seattle Sounds lainnya yang nggak bisa saya mention semua, tentu saja. Meski tidak bisa dibohongi, saya punya kecenderungan mengistimewakan Nirvana dibanding yang lain. Kalau yang lain, hanya beberapa dari lagunya yang sering kudengarkan sehari-hari. Sementara Nirvana, hampir kesemua lagu lolos seleksi masuk ke selera telingaku. Rasanya ya, pas saja gitu. Kebisingan musik Nirvana adalah Ketenangan, bagiku. Nirvana, besar pengaruhnya bagi kekaryaan ku.

Jika demikian, bisa dipastikan bahwa role model saya sewaktu remaja, ya tentu saja siapa lagi kalau bukan Kurt Cobain. Ya, si dia. Si rockstar gila yang mati muda. Mati diusia 27 tahun dan direkrut menjadi anggota Majelis 27th clubs. 27th Clubs, sebuah sekte aneh yang beranggotakan nama-nama posohor dunia, yang mana mereka masih sempet-sempetnya bikin paguyuban sesudah kematian. Beberapa member paguyuban itu namanya familiar di telingaku. Sebut saja Jim Morrison, Jimi Hendrix dan Kurt Cobain, tentunya. 


Awalnya, saya cuma sebatas sering dengar lagunya Nirvana. Cuma dengar, tidak lebih. Tak ada sedikitpun pengetahuan tentang kosa kata dari liriknya, apalagi maknanya. Nggak tahu liriknya, tapi merasa sreg di jiwa. Ya kurang lebih samalah seperti orang...

Seperti orang jatuh cinta. Awalnya cuma nurutin apa yang dirasa hatinya. Nggak ada dalil apapun selain getaran yang janggal di hati. Tapi jangan kuburu self proclaimed kalau kamu jatuh cinta. Jangan dulu, men. Rasa itu perlu diuji dengan pengetahuan. Karena ya cepat lambat, bakal semakin banyak pengetahuan tentangnya yang masuk ke kepalamu. Pengetahuan itu berupa fakta atau prasangka tentang baik dan buruknya orang yang dicinta. 

Hal-hal baik yang kau dengar, yang kau ketahui tentang dirinya, pasti bakalan nambah kadar rasa. Ya itu sih kewajaran semua manusia. Menerima yang baik pasti selalu menyenangkan bagi umat manusia. Tapi, bisakah kamu tetap cinta setelah mengetahui fakta-fakta buruk tentang dirinya? Jika iya, sepertinya kamu beneran jatuh cinta. 

Nah, saya dan Nirvana, pun begitu siklusnya. Ya sedikit banyak saya tahulah fakta-fakta tentang mereka. Dari media berita, dari film dokumenter, juga buku yang mengulik mereka. Entah baik buruk faktanya, itu semua tidak mengurangi dosis kecintaan saya ke Nirvana. Wabil khusus ke mendiang Kurt Cobain. Seperti misal, pernah seseorang ngomong begini ke saya, "Musik Nirvana itu minim skill. Semua juga bisa mainin musik begituan. Nggak ada spesial-spesialnya". Responku, cuma bilang, "Peduli setan, lah". 

Opini buruk orang lain tentang sesuatu yang dicinta, sedikit ngaruhnya untuk mengubah stances personal. Cinta selalu berdiri di atas dan jauh melampaui baik buruk dan salah benar, men. Iya, meskipun tetap ada pengecualiannya, sih. Pengecualian itu tak lain disebabkan getaran yang janggal perlahan sudah mulai menghilang. Jika begitu, mungkin cuma dikasih sedikit provokasi berupa fakta nggak enak, langsung masuk ke hati dan bikin mikir lagi, "Bener juga yang dia bilang". Akhirnya berujung lost faith. Begitu.

Tapi itu takkan kejadian di saya. Tak bakal mempengaruhi kecintaan saya pada Nirvana. Karena ya, Nirvana sudah bubar. Kurt Cobain sudah lama meninggal. Krist Novoselic solo karier dan Dave Grohl bikin Foo Fighters. Dan selain Cobain, dua personil lain nggak begitu saya ikutin kiprah bermusiknya. Jadi ya nggak ada lagi kebaruan informasi tentang Nirvana yang bakal mencitrakan Nirvana buruk di pandangan saya. 

Informasi baru yang mungkin ada, palingan tentang penggarapan film dokumenter, misal. Itu sih kabar baik. Atau reunian personil Nirvana tanpa Cobain. Nggak jauh dari itu palingan. Dan soal Kurt Cobain sendiri, nggak bakal ada itu berita semisal dia menggadaikan idealismenya untuk merapat ke parpol. Nggak bakal pernah ada yang begituan.


Jadi ya nggak bakal mempengaruhi saya untuk tidak lagi menyukai Kurt Cobain dan Nirvana. Terkecuali, karena usia. Ketika sudah tua, menjelang mati misalnya, ya mungkin saja saya lebih sering dengerin lagu-lagu rohani religi, sih. Mungkin malah nggak sempet kepikiran dengerin lagu. Fokus ibadah. Yah, soal itu sih soal waktu, lah ya. Lihat nanti tuanya gimana. 

Kalau sampai tua. Kalau mati muda gimana?

Dan atas dasar kecintaan, saya ingin menulis tentang Nirvana. Di sini, di Mahaplung. Sebenarnya tak dikhususkan nulis tentang Nirvana atau Kurt Cobain semata. Nanti bakalan meluas ke band-band lain yang berada di circle Grunge atau Seattle Sounds ini. Bahkan nanti ada kemungkinan melebar lagi ke genre musik lain, yang tentunya, musik yang disukai penulisnya, lah. 

Sebab tanpa kecintaan, tulisan terasa hambar. Ya kali menulis sesuatu yang tak ada rasa sama sekali. Nanti malah cuma jadi kosmetik saja ini tulisan. Dan tulisan tentang musik nantinya akan dikelompokan dalam satu rubrik. Rubrik ini saya beri nama Semu, akronim Seputar Musik. 

Mungkin kesemua artikel nantinya difungsikan hanya sebagai arsip personal. Atau kemungkinan lain, ya barangkali bisa dijadikan referensi yang mensugesti dirimu memutuskan untuk mendengarkan lagu dari band yang dibahas di artikelnya. Lebih jauh, mungkin bisalah sekalian kau masukkan ke playlist harian. Lagunya bagus, kok. Dijamin!

Dan artikel yang sekarang sedang kau baca, ini adalah pemandu wisata. Artikel ini akan mengantarmu menjelajah ke kebisingan yang menyenangkan. Sampai ketemu di pembahasan lain yang lebih spesifik dan mendalam, kawan. Sekian.


Post a Comment