Bocah usia lima tahun itu duduk di atas ranjangnya. Ranjang yang cukup luas. Dengan kasur busa empuk, dilapisi sprei bergambar Lisa Blackpink. Beberapa mainan robot-robotan tergeletak sembarang di kanan dan kiri ranjang. Sudah sejak sore tadi si bocah bermain peran dengan robot-robotan di tangan. Entah apa yang terbayang dalam imajinasi sang bocah. Ia menabrakkan dua kepala dari Rangers biru dan merah. Mungkin, diantara rangers biru dan merah saling gontok-gontokkan, sampai berantem hanya karena beda pendapat soal wabah. Mungkin.

Kini si bocah bosen mainan robot. Ia pandang dinding kamarnya. Dinding berwarna putih kertas, dengan beberapa poster terpajang di sana. Poster yang sengaja dipasang orang tuanya untuk si bocah mengenal huruf Hijaiyah, abjad latin, angka nominal, gambar binatang dan buah-buahan. Namun, memandang poster itu nambah kebosanannya. Ia tak pernah benar-benar selera memandang dan perhatikan itu gambar. Mungkin, dalam perasaan ingin sekali ia robek-robek poster itu. Kemudian Ia ganti dengan poster bergambar pasangan punk yang kontroversi : Vicious and Nancy. Mungkin.

Sementara itu, jarum jam terus berdetak dan berputar. Putarannya kini menunjuk angka sebelas. Sudah larut malam. Semestinya bocah seusia dia sudah tidur. Namun ia enggan merem. Entahlah, sudah berhari-hari ia berperilaku janggal begini. Tak umum seperti kebanyakan bocah seumurannya. Tiap jam sebelas malam, ia mulai ngoceh sendiri. Melakukan monolog ngomongin perkara nasionalisme, kebebasan berpendapat, toleransi antar umat serta keadilan dan kemakmuran rakyat. Perilaku janggal tersebut sebenarnya sudah diketahui dan membikin ibunya khawatir.

Ibunya bernama Ranum. Ranum diam-diam sering mencuri dengar celoteh anaknya tiap malam dari kamarnya yang bersebelahan dengan kamar anak. Dan malam ini, terulang lagi itu kejanggalan. Perasaan Ranum makin dibuat ketar-ketir. Ada kecemasan dan ketakutan yang selimuti perasaan ibu muda ini. Kecemasannya bukan karena takut anaknya diserang atau didoxing sama BuzzerRP. Bukan pula takut instagram atau whatsapp anaknya diretas orang yang tak suka dengan oceh anak kecilnya.

Bukan itu semua. Bukan. Ranum gelisah karena ini udah hampir lewat jam dua belas dan buah hatinya tak kunjung tidur pulas. Anak seusia dia belum layak jadi penyitas insomnia. Iya, memang besar kemungkinan jika anaknya dewasa kelak, dia bakal demen begadang. Tapi ya jangan sedari dini jugalah. Belum waktunya, nak. "Begadang sedari dini besarnya mau jadi apa, nak?", Mengeluh ia dalam hati.

Kebisingan pancaroba mengusik kepalanya. Dua perkara mendominasi isi kepala Ranum. Pertama, dugaan kuat kalau suaminya yang ngajarin anaknya perihal dongeng tentang negara yang ideal, seperti yang sedang diocehkan sang anak. Dugaannya bukan tanpa dasar. Ia tahu betul latar belakang suaminya dahulu. Suaminya bernama Seda. Dulu pas muda, Seda merupakan seorang aktivis kiri yang radikal. Tiap hari tak pernah kenyang ngomongin revolusi. Dimulai dengan sarapan pagi dengan menu Madilog dan ditutup dengan tidur berbantal tiga jilid tebal Das Kapital. Tentu ada rutinan diskusi, dan berbagai jenis aksi massa tak luput ia ikuti dengan antusiasme tinggi.

Di kepalanya dipenuhi dengan cita-cita dan harapan mulia : masyarakat tanpa kelas. Suatu keadaan di mana semua manusia setara. Sama rata sama rasa. Tidak ada ketimpangan, tidak jomplang, karena kesetaraan jadi pondasi tatanan sosial. Wah, tentu indah sekali bukan dunia yang seperti demikian? Sayang, keindahan itu cuma yes di kepala. Di kenyataan, No! Tak benar ada. Tak pernah Seda temukan kehidupan yang demikian. Mungkin cuma dongeng. Semacam kanon fiksi, yang utopis.

Revolusioner Muda itu kian memudar idealismenya seiring dengan ulah sang waktu yang menggerogoti usia. Nambah tua, nambah realistis. Ia menikahi Ranum, dan telah rela menanggalkan semua mimpinya yang mulia. Namun, jauh di kemudian hari, dongeng indah yang begitu ia dambakan, itu ia ceritakan pada anaknya. Mungkin karena genetik, ya, jadinya anak usia lima tahun itu malah keranjingan juga soal-soal yang begituan.

Seda bangga dengan anaknya. Meski tak tahu, perbuatannya tersebut justru telah bikin sang istri diserang kekhawatiran tak mengenakan. Dan Ranum sendiri, sudah mencapai titik final pada keyakinan. Bahwa jelas, suaminya adalah pelaku tunggal dari perilaku anaknya yang janggal. Itu benar dan tidak bisa digugat!

Akan tetapi, tiba-tiba pemikiran tersebut malah digugat oleh dirinya sendiri. Ia rasa bukan cuma suaminya yang salah. Makin pusing ia dengan pikiran sendiri yang kacau berantakan. Ia harus kontemplasi. Ya, ia perlu merenung.

Mulailah ia mengembara ingatan ke kejadian-kejadian terlewatkan. Ia ketemu satu titik. Titik yang memberi petunjuk dan ngasih tahu ke dia kalau dia sendiri juga turut andil dalam permasalahan anaknya. Meski bingung, ia tetap coba teruskan mengembara ingatan. Hingga akhirnya ia benar-benar menerima fakta yang tadi ia ditemukan. Ada benarnya jika dibilang ia juga penyebab kejanggalan anaknya. Penyebabnya sebenarnya dari hal yang simpel dan sederhana, yakni soal ngasih nama anak. Ia rasa di sinilah titik awal permasalahan. Ia telah keliru ngasih nama.

Dulu, sewaktu sang anak masih dalam kandungan, Ranum dan Seda terlibat perundingan hangat. Bermusyawarah menentukan kandidat nama-nama yang tepat bagi sang anak. Ketika itu Ranum asal nyeletuk. Setengah becanda ia bilang, "Gimana kalau anak kita dikasih nama Karung Goni saja? Hahaha". Sungguh, ia cuma becanda. Tak disangka, Seda malah beranganggapan serius dan memberi persetujuan.

Seda menganggap ide yang Ranum lontarkan itu sangatlah brilian. Mind Blowing. Dan dengan serius, Seda bilang, "Karung Goni itu punya filosofi, sayang". Kemudian Seda menerangkan bahwa filosofinya, adalah biar nanti ketika sang anak dewasa, ia serupa karung goni yang mau dan mampu menampung segala macam pengetahuan tentang gelap terangnya kehidupan. Mendengar ucapan Seda, Ranum merasa tercerahkan. Yang tadinya cuma becanda, kini ia serius merealisasikan nama itu jadi nyata.

Jadilah selepas lahiran, bayi yang mungil dan menggemaskan itu dikasih nama Karung Goni. Ranum dan Seda berbahagia melihat Karung Goni lahir dan sehat jasmani dan rohani. Ada satu kebanggaan tersendiri bagi pasangan muda itu. Bayi itu begitu dikasih nama karung goni, ia langsung ngacungin jari tengah ke dunia fani. Mereka bangga dengan ketidaktahuan mengenai isi perasaan sang anak yang sebenarnya.

Meski bahagia, sayangnya, bahagia pun sifatnya cuma temporer. Lima tahun berselang, yang mulanya penuh kebahagiaan, berubah drastis jadi penyesalan. Penyesalan yang cuma dirasakan Ranum. Ranum menyesal, mengapa ia tidak mendebat argumen filosofis suaminya perihal karung goni. Karena mendadak Ranum teringat satu fakta. Fakta bahwa karung goni pun bisa digunakan jadi alat untuk membungkam dan menyelapkan nyawa orang.

Itu seperti keterangan yang ia tonton dari film senyap. Tentang bagaimana nasib orang-orang tertuduh digenosida pasca enam lima. Dan Ranum pikir, karena anaknya dinamai Karung Goni, si kecil itu jadi meleyapkan rasa kantuk dan hasrat tidurnya. Kasian, kan!

Benar-benar menyesal ia. Tapi ya, penyesalan itu tiada guna. Tapi ya kesal juga sih. Ia sebal pada dirinya. Juga pada suaminya. Dan bahkan pada orang-orang yang tak punya sangkut paut apapun perihal masalah yang membelunggu pikirannya. Ia arahkan kesebalan di hatinya bahkan pada si William Shakespeare yang pernah bilang, "Apalah arti sebuah nama". Sialan. Ia mengumpat habis-habisan pada si sastrawan Prancis itu.

Ia perlu menenangkan dirinya. Ia tarik nafas dalam-dalam. Ia buang pelan-pelan. Ia bangkit dari ranjang dan bersiap ambil tindakan penanganan. Tak boleh ia biarkan berlarut-larut kejanggalan sang anak. Ia langkahkan kaki meninggalkan sang suami yang tengah tidur mendengkur dan bergegas ke kamar anaknya. Begitu sampai di depan pintu, terdengar pelan sang anak sedang melafalkan doa tidur.

Amuutt..

Mungkin, ada baiknya ia tunda dulu maksud baik ini. Besok saja. Besok, sebelum si kecil berceloteh lagi tentang negara yang makmur dan beradab, yang jelas-jelas tak bakal ada di kenyataan, ia akan masuk ke kamar anaknya.

Ia mau melawan pemikiran yang dibrainwash bapaknya dan terlanjur nempel di kepala anaknya. Ia lawan dengan dongeng serupa, yang lebih nyata tentang bagaimana negara dalam dunia yang sebenarnya. "Nanti ibu bakal sembuhin pikiranmu, Nak", guman Ranum dalam hati.

3 Komentar

Posting Komentar