Upaya Perpanjangan Nafas Cerita - #8

Sudah berhari-hari aku menjalani rutinitas sia-sia. Ngecek ruang chat, melihatnya sedang online. Mengetik panjang lebar. Memikirkan kepantasan. Hapus lagi semua kata, pesan tak jadi dikirimkan. Itu berulang. Itu menjemukan. Itu bikin hati tremor ndlegdegan. 

Nggak bisa. Keadaan ini nggak boleh membelenggu terlalu lama. Aku perlu merenung. Perlu meminta pikiran untuk bekerjasama. Pikiran berupaya menggali memori yang tersimpan di dalamnya. Memori tampilkan ulang semua reka kejadian, resolusi 3gp ingatan. Meski buram, aku tersenyum. Sebab telah ku temukan satu titik pencerahan. 

Gaskan!!!

Aku berselancar di dunia maya. Mencari buku yang kemarin ingin dibeli olehnya. Ketemu, vsdiksi. Aku order. Aku bayar. Aku menunggu buku diantar. Dua hari berselang, buku datang. Tanpa sedikitpun keraguan, detik itu juga aku bertandang ke kost-nya. Ini permintaan maaf dariku, sayang.

Aku datang dengan optimis yang mengandung sekumpulan harapan. Harapan yang menari dengan agresif, namun mengenal batasan ideologis. Berharap hati yang beku kembali mencair dengan buku. Berharap hati yang terbakar mampu dipadamkan dengan hujan sajak-sajak roman. Berharap hati yang kadung dingin, menghangat lagi setelah menjerang bait puisi.

Perjalanan kali ini terbilang lancar. Nggak ada satupun kesialan yang sialan datang dan berupaya menjegal. Sepertinya, semesta memberi restu pada iktikad baikku. Setengah jam berpacu kecepatan, kuhentikan sepeda motor di pelataran kost-an.

Ku telepon dirinya. Berdering, lama. Sekali, panggilan tak terjawab. Dua, tiga, empat, batin berniat mengucap sambat. Lima enam tujuh, aku diserang jenuh. Delapan, kaki kesemutan dan perasaan mangkel nggak karuan. Kalau ke sembilan nggak diangkat, terpaksa kaki ku yang kan ku angkat! 

Sembilan, terdengar suara dari seberang.

"Iya, kenapaaa?!".

"Aku di depan kost mu".

"Bisa temui aku sebentar?".

Telepon dia matikan. Sialan. 

Sebelum umpatan kelewat liar, pintu depan kost terbuka lebar. Bukan dia, melainkan temannya yang keluar. Sebagai utusan yang mungkin memberi kabar tak mengenakan. Ia mendekat dan bukakan gerbang untukku. Dengan sopan ia persilakan aku masuk dan duduk. 

Katanya, yang aku tunggu sedang mandi. Harap sabar menanti. Okelah. Meski lisan ini gatel ingin maki-maki. Aku setia menanti. Nggak apa-apa. Katanya kan, orang sabar hatinya jembar. Katanya, sih.

Sudah sejam aku melamun di sini. Belum ada kepastian. Optimisme perlahan pudar. Rasa kesal berangsur-angsur memancar. Kekecewaan mulai perlihatkan sikap arogan. 

Sepertinya, bakal ketemu hal-hal yang menyakitkan. Dan aku cenderung percaya pada ramalanku yang kental dengan kepesimisan. Kesedihan itu akan datang dengan dosis yang jauh lebih parah dari yang sudah-sudah.

Tapi, rupanya tak sia-sia aku menahan laju umpatan. Tak sia-sia aku menunggu dengan sepenuh sabar. Sebab akhirnya dia keluar. Aku lempar senyuman. Dia lempar sikap yang sulit ku terjemahkan. 

Persetan persepsi! 

Aku tak mau basa-basi lagi. Ku todong dia dengan segera. Dengan buku vsdiksi, ku katakan padanya,"Maaf untuk yang kemarin".

Dia tersenyum. Berpindah tangan buku itu setelah tergenggam olehnya. Aku ikut tersenyum. Ia menyuruhku duduk kembali. Ia letakan di atas meja, buku vsdiksi-nya. Pamit sebentar. Katanya, dia mau bikinin aku kopi.

"Nggak usah pakai gula", kataku.

"Nggak usah gombal", ucapnya.

"Ya sudah. Nggak usah bikin kopi sekalian", jawabku.

"Ya sudah. Minum angin sajalah!", Katanya. 

Duduk lagi. Nggak jadi bikin kopi. Kenapa aku berucap tolol lagi, sih? 

"Aku cuma bercanda, Fik".

"Ya, aku juga bercanda". 

Dia simpulkan senyum. Beranjak dari kursi. Bergegas ke dapur dan menyeduh segelas kopi. Tolol ku, dicancel!

Sekembalinya dari dapur, aku utarakan semua perasaan. 

Mulai dari rasa bersalah, hingga rasa cinta yang megah, dengan sedikit terengah-engah. Tapi, ku katakan semua terus terang. Tanpa tedeng aling-aling. Seperti tak lagi punya ketakutan. Tak mengenal cemas pada penolakan. Tak ada lagi hal semacam itu dalam kamus ku, sekarang! 

Sikap optimis adalah senjata paling mematikan, yang dapat membunuh pesimis dengan keberanian maksimal. Semua kelegaan hati terpancar setelah mampu ku rapalkan sepenggal kalimat yang diucapkan sejuta umat, 

"Terus terang, aku mencintai mu".

Setelahnya, cukup lama ia terdiam. Entah diamnya sedang mikir, atau menahan gusarnya kebelet ngising. Tak ku tahu mana yang benar, mana yang pasti. 

Ia menarik nafas panjang. Ia hempaskan pelan-pelan, dalam-dalam. Ia menggerakan roda bibirnya. Memutar mesin wicara, melepas semua kata yang sempat terpenjara. 

Mungkin, kata-kata itu akan membikin hatiku berbinar. Atau, jangan-jangan ucapannya bakal membuat hatiku tercabik, tercakar, dan kesedihan berhasil temukan jalan untuk keluar. I dont know.

"Kamu bawa korek?".

Ternyata praduga ku salah. Bukan sedih, bukan senang. Ucapannya justru membingungkan. Apa coba korelasi antara pernyataan cinta, dengan pertanyaan bawa korek apa engga? 

Apa mungkin dia cuma mau mengalihkan pembicaraan? Ah, kalau sekedar mengalihkan, sepertinya kelewat kejauhan, ya. Ada sesuatu yang janggal, yang bikin penasaran, dan tak henti mempertanyakan dalam perasaan.

"Kenapa malah tanya begitu?", tanyaku.

"Bawa nggak?".

"Iya. Bawa. Tapi ya, untuk apaa?". 

Ku keluarkan pemantik api dari dalam saku celana. Ia tak juga menjawab tanya. Justru, sekarang ia sibuk melakukan uji kelayakan pada korek di tangannya. 

Nyala atau engga? Nyala!

Dia berdiri. Menatap ke depan dengan mantap. Ia anggukan kepalanya padaku.

Anggukan kepala itu memberi isyarat untuk aku mengikuti arah langkah kakinya. Dan langkah itu bermuara tepat di depan gerbang kostnya. Di sana, ia berdiri mematung. Menatap ku, menunggu aku. 

Aku masih bingung. Ku langkahkan saja kaki ini menghampirinya. Kini, ku saksikan scene singkat yang takkan pernah ku lupa.

Tangan kanannya menggenggam buku vsdiksi. Sedang tangan kiri, memegang korek api. 

Posisi tangan kanan lebih tinggi. Tangan kirinya mahir memutar roda pemantik api. Korek menyala. Kobaran api melumat bagian paling bawah buku vsdiksi. Disambut kertas-kertas, nyala api kian ganas. Belum sempat habis terbakar, ke sembarang tempat buku itu ia lempar. 

Buku vsdiksi bertaruh mengupayakan dirinya melawan sekarat. Beruntung, Angin yang bertiup kencang memberi keringanan pada buku itu. Hingga nyala api sanggup dipadamkan. Alhamdulillah, ia berhasil selamat. 

Selamat, mari slametan!

Itu semacam analogi yang terselip dalam ruang arsip. Dokumen-dokumen kuno yang di dalamnya termaktub prasasti sebuah kenangan. Kenangan-kenangan yang tercipta dari kepingan cerita yang terasa sia-sia. Dan akan semakin sia-sia rasanya, bila terus saja dikenang. 

Jelas kau ngerti, itu kenangan tentangnya. Tentangnya yang semestinya telah selesai.  Sudah rampung segala cacat catatan sejak kata merelakan berani disabdakan. 

Dan tentangnya, ku cukupkan sampai Bab delapan. Dengan alasan hidup harus terus berjalan, maka tiada kata paling pantas ku ucapkan selain, "Sekian, sayang!". Tiada lagi tentang mu di sini. 

Tiada menjadi ada, menjadi tiada.

Oh ya. Tadi penulis ceritaku japri dan bilang begini, "Besok tokoh ceritanya kan ku ganti. Bukan dia lagi". 

"Nama baru, yang berhasil mendepak dia dari hatimu", katanya.

Aku sebagai tokoh ceritanya, tak merespon apapun selain hanya bisa pasrah dengan alur cerita yang kan terjalani. Aku manut, gusti.

***

Catatan : Bab 8 adalah akhiran. Tidak ada lagi lanjutan untuk serial Upaya Perpanjangan Nafas Cerita. Tamat! 

__________________________________________

Belum Baca Sekuel Perdana? 👉 Upaya Perpanjangan Nafas Cerita #1

__________________________________________


Posting Komentar

0 Komentar