Sudah mandi. Setelan rapi. Kemeja flanel, celana jins panjang dan sepatu converse. Kurangnya cuma satu, aku nggak gondrong. Kalau gondrong, rasanya aku mirip mendiang Kurt Cobain with the light out its less dengerous.

Itu bayangan abadi sejak masih duduk di bangku sekolah. Memang sempat terwujud. Cuma ya terpaksa harus direlakan usai. Sebab kanjeng Mami minta aku cukur. Dengan alasan doa ibu lebih prestisi ketimbang impian rambut gondrong ala rockstar yang mati muda, aku ya manut. Sudahlah, nggak apa-apa. Toh nanti rambut ini bakal tumbuh lagi.

Melihat diriku di depan cermin, aku merasa ada yang janggal. Cenderung merasa nggak nyaman dengan dandanan yang terkesan memaksakan. Maksa biar dinilai rapi. Padahal, aku benci sekali berpakaian semacam ini. Aku merasa ini bukan aku yang sebenarnya. Ya, ini bukan aku. Aku jadi orang lain! Nggak. Aku nggak mau pakai topeng di hadapan orang yang ku cinta! 

Segera ku copot pakaian yang tak perlu. Kemeja, celana panjang, dan sepatu, ku singkirkan. Ku ganti dengan kaos band idola, celana pendek dan sendal swallow. Nah, ini baru diriku. Dan aku nyaman sekali dengan style begini. 

Menjadi diri sendiri di depannya, biarpun jauh dari standar keren masyarakat kelas menengah ngehe, itu jauh terasa menyenangkan. Ketimbang aku harus memoles diri dengan kepalsuan yang menjemukan dan nggak bikin diri nyaman. Faklah! Persetan! Aku cuma mau jadi aku. Titit. Sorry, salah ketik. Maksud ku, titik.

"Mau kemana, su?", tanya kawan satu kost. Dia bernama Nama. Serius, namanya memang beneran Nama. Nama dia bakal bikin dirinya dan orang yang baru dikenalnya, bingung. Kejadian itu aku alami ketika pertama bertemu si bajingan ini.

"Nama mu siapa?".

"Kenalin, namaku Nama".

"Hah?".

"Adinama Namadi".

Aku tak percaya. Aku yakin, orang ini mengada-ada. Aku membatin begitu. Anehnya, entah si Nama bisa baca pikiran, atau sudah kenyang dengan pengalaman, tiba-tiba dia berucap begini, "Ya memang aku mengada-ada. Persis seperti tulisanmu. Mana ada orang yang namanya Nama. Aneh bener tulisanmu, sat!". 

Aku benar-benar terkejut mendengar ucapannya saat itu. Kok bisa dia tahu kejadian yang belum terjadi dan belum ku tulis? Jangan-jangan, dia itu... Nggak jadi ku terusin. Bahaya kalau ku tulis praduga itu. 

"Heii, anda mau kemana, Asu!". 

Aku kaget. Lamunanku buyar oleh pertanyaannya. Segera ku jawab bahwa aku mau kencan. Tentu, jawabku tak selempeng itu. Aku beri bumbu-bumbu ledekan biar kupingnya Nama meledak, menghantarkan api panas ke hati yang tersulut kedengkian. 

Sebuah kepastian, umpatan terlontar dari mulutnya yang bau tai jaran. Aku melenggang meninggalkan Nama yang dikutuk dengan deretan kisah asmara yang gagal, di tinggal mantan nikahan. Aku menduga, jangan-jangan si Nama ini adalah reinkarnasi dari Panglima Tiang Feng alias Pat Kai. 

Sudahlah, lupakan Nama, fokus lagi ke dia.

Ponsel mengabarkan padaku bahwa sekarang jam 10 pagi. Sebelum pergi, aku maki-maki dulu motorku biar dia panas dan ngegas. Motor Asu! Beres dengan urusan teknis, segera sepeda motor meronta pelan di jalanan yang sepi dengan lapisan aspal growang-growang. Aku berdendang menyanyikan Oasis Stand by Me. Bahagia sekali.

Jarak kostku dengan kostnya lumayan jauh. Perlu setengah jam perjalanan untuk sampai ke sana. Tapi sejauh apapun jarak, kalau tujuannya yang tercinta, tetap saja terasa ringan tak memberatkan. Bahkan seandainya jaraknya dari Jogja ke Mekkah, atau ke Yunani Kuno sekalipun, ya jelas, aku tak sanggup kalau pakai motor, dong! Cinta ya cinta, tapi jangan tolol juga!

Dua lampu merah telah terlewati. Sialnya di depan ada satu lagi. Taat berhenti. Tambah sial, mendadak motor tiba-tiba mati. Asu! Kucoba pencet starternya. Tetap nggak nyala. Dua, tiga, empat, lima, enam kali melakukan hal serupa, hasilnya nihil belaka. Bajingan! Dengan terpaksa aku harus minggir. 

Kesialan konsisten berulang. Baru mau minggir, lampu lalin berubah warna jadi hijau. Aku diklaksonin pengendara lain. Tai, tai, tai! Setengah malu bercampur kesal, kepala ku nunduk-nunduk sopan, mangkir ke pinggiran. Sialan!

Aku tak bisa cuma ngumpat dan diam di tempat. Jelas yang ku lakukan tak bikin motor kembali hidup, sekalipun sampai kiamat. Mau nggak mau aku harus dorong mencari bengkel terdekat. Meter demi meter dengan sesekali berhenti, ku dorong tanpa pasti. Kini perkiraan jarak tempuh sudah lebih satu kilometer. 

Belum ada satupun bengkel yang ku temui. Tak tahan lagi, aku duduk menepi di trotoar. Melihat ke arah seberang, sialan, itu di depan ada bengkel! Segera aku menyeberang. Sekarang, ku pasrahkan motor ini pada yang lebih ahli. Sang montir langsung periksa sana-sini.

Sepuluh menit berlalu, tak terhitung berapa kali dia garuk-garuk kepala. Tingkahnya bikin aku jadi curiga. Jangan-jangan, dia montir amatiran. Atau mungkin dia siswa SMK jurusan TSM yang lagi PKL-an. Aku mendekat ke arahnya dan bertanya, "Gimana, mas?". 

Dia menjelaskan, sudah dicek semua di bagian mesin, tak satupun ditemukan kerusakan. "Coba mas, saya pinjam kunci motornya", ucapnya. Aku merogoh saku celana. Ku berikan kunci itu. Diambil dan segera memasukan ke lobang kuncian, jeklek. Motor tetap ngadat. Dia periksa bagian speedometer. 

Dari wajahnya, terkesan seperti orang yang baru menemukan ide brilian. Sebuah bohlam muncul dan menyala di atas kepalanya. Dia cabut kunci. Colok ke lubang samping belakang, di wilayah kuasa jok motor. Dia buka penutup tangki bensin.

"Oalah pantesan, mas. Bensinnya habis. Sampai kering gini". Dia perlihatkan padaku keadaan tangki bensinnya. Dan lagi, aku menahan malu kesekian kali. Aku lempar tanya biar memberi kesan bahwa tadi itu perilaku yang lumrah dilakukan oleh umat manusia. 

"Pangkalan bensin eceran terdekat di mana, mas?". Dia menerangkan rute dan arah selayaknya navigator GPS. Aku iyakan saja semua. Beres bayar ongkos lelahnya, aku langsung tancap gas, kaki. Dorong lagi dan lagi.

Duh, begitu bodohnya aku. Perihal motor mati sebab bensin habis saja nggak ngerti. Malunya sampai ke kemaluan! Wahai trotoar yang budiman, kenapa aku setolol ini? Apa aku tolol karena sedang kasmaran, atau memang tolol ku itu orisinal? Ah bajingan! 

Sudahlah, dorong lagi dan terus sajalah. Hingga pada akhirnya, ketemu juga pangkalan bensin yang kucari. Beli sebotol cukup. Tangki bensin meneguk dengan girang cairan berwarna kebiruan sampai tandas, sedikitpun tak disisakan. 

Aku starter motorku. Dan yeah, hidup! Tanpa tolah-toleh kanan-kiri, aku menyeberang dengan kencang sekali. Dari arah kanan, sebuah truk pengangkut ayam melaju tak kalah kencang. 

Ketika motorku sampai ke tengah jalan, truk ayam itu kini hanya berjarak sekian jengkal, dan brakkkk! Tiba-tiba pulpen ku terjatuh. Aku ngantuk. Padahal tulisan ini belum selesai. Hooaaaam. Lanjut besok saja, ya.

__________________________________________

Baca Sekuel Berikutnya ðŸ‘‰ Upaya Perpanjangan Nafas Cerita #3

__________________________________________

***


1 Comments

Post a Comment